Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah diminta serius menangani kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang kerap kali terjadi setiap tahunnya. Juru Kampanye Greenpeace Indonesia Arie Rompas mengatakan, terjadinya karhutla karena pemerintah selama ini lalai dengan memberi banyak perizinan usaha di wilayah gambut.
Ia meminta, stakeholder terkait dapat membentuk tim gabungan untuk melakukan evaluasi perizinan. Selain itu, agar karhutla tidak terulang lagi, pemerintah mesti lebih tegas dalam penegakan hukum karhutla.
"Pemerintah tidak bisa lagi menganggap ini (karhutla) sebagai kejadian yang biasa," kata Arie, Sabtu (21/9).
Baca Juga: Update karhutla, sebanyak 2.288 titik api terpantau di seluruh Indonesia
Juru Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zenzi Suhadi menilai, pemerintah kalang kabut dalam menangani karhutla karena pemerintah telah gagal melakukan dua hal. Pertama, pemulihan fungsi ekosistem gambut belum optimal. Kedua, penegakan hukum yang belum maksimal.
"Karena dua hal ini tidak dilakukan serius maka risiko kebakaran hutan meningkat di Indonesia walaupun terjadi penurunan titik api tahun 2016 hingga 2018," kata Zenzi.
Walhi meminta pemerintah melakukan kajian lingkungan hidup strategis untuk melakukan review perizinan terhadap entitas perusahaan. Menurut dia, jika tidak diawali dengan hal tersebut, pemerintah cenderung responsif dan serampangan dalam penanggulangan maupun penanganan karhutla.
"Seperti sekarang, muncul api baru melakukan upaya pemadaman," ujar dia.
Baca Juga: Ma'ruf Amin: Fatwa haram soal karhutla bersifat pedoman
Walhi mengindikasikan saat ini terdapat 4,4 juta hektare lahan gambut dirusak oleh korporasi. Dari jumlah itu, 2,7 juta hektare diantaranya dirusak oleh 90 perusahaan hutan tanaman industri dan 1,7 hektare oleh 198 perusahaan sawit.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rasio Ridho Sani mengatakan, pihaknya memaksimalkan penegakan hukum bagi perusahaan pembakar hutan dan lahan seperti yang terdapat pada UU Nomor 32 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU tersebut, KLHK dapat menggugat perusahaan melalui sanksi administratif, perdata hingga pidana.
Baca Juga: Polda Riau tetapkan 53 tersangka Karhutla, satu diantaranya perusahaan sawit
Selain itu, saat ini KLHK tengah menyiapkan regulasi tambahan yakni pasal perampasan keuntungan untuk memberikan efek jera bagi perusahaan yang diduga melakukan pembakaran hutan dan lahan.
"Karena embakaran hutan dan lahan dilakukan secara sengaja untuk mendapatkan keuntungan secara finansial," ujar dia.
Lebih lanjut, Rasio mendorong pemerintah daerah lebih tegas memberikan sanksi kepada perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran hutan dan lahan. Sanksi yang dimaksud dapat berupa perintah perbaikan, pembekuan hingga pencabutan izin perusaahaan.
Hingga saat ini KLHK telah menyegel 52 lahan konsesi perusahaan seluas lebih dari 9.000 hektarr yang diduga terkait kebakaran hutan dan lahan. Lahan tersebut tersebar di provinsi Riau, Jambi Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Baca Juga: Gapki dukung pemerintah menindak pelaku karhutla
KLHK juga telah mengajukan gugatan terhadap 17 perusahaan dimana 9 gugatan sudah inkracht dengan nilai gugatan sebanyak Rp 3,9 triliun.
Selain itu, KLHK telah menetapkan tersangka terkait karhutla. Antara lain, PT SKM, PT ABP, dan PT AER di Kaimantan Barat, serta PT KS dan PT IFP di Kalimantan Tengah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News