Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Di dampingi oleh Tim Advokasi untuk Demokrasi Sektor Keadilan Pajak (TAUD-SKP), 6 orang warga dan 1 organisasi masyarakat sipil mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap sejumlah pasal bermasalah dalam Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Adapun pasal-pasal yang dimaksud adalah Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, g, dan j, serta Pasal 7 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU HPP.
Pasal-pasal tersebut bermasalah karena sejak beberapa waktu ke belakang dijadikan landasan hukum bagi pemerintah untuk menaikkan PPN tanpa memperhatikan kondisi dan kebutuhan warga.
Baca Juga: UU HPP Perlu Direvisi Bila Kebijakan PPN Jadi Multitarif
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU HPP, terdapat ketentuan mengenai kenaikan tarif PPN secara bertahap, mulai dari kenaikan sebesar 11% sejak 1 April 2022, hingga sebesar 12% pada 1 Januari 2025.
Ketentuan tersebut membawa konsekuensi buruk kepada warga karena di dalam Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, g, dan j UU HPP, pada pokoknya, hak-hak dasar warga atas kebutuhan pokok, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pendidikan, dan jasa angkutan umum yang sebelumnya bukan objek PPN kemudian dimasukkan ke dalam daftar barang dan/atau jasa yang dikenai PPN beserta kenaikan tarifnya.
Tak hanya itu, Pasal 7 ayat (3) dan (4) UU HPP juga telah menetapkan rentang besaran PPN tanpa indikator yang terukur dan transparan, yaitu paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.
Baca Juga: Pemerintah Pastikan Kebijakan PPN 12% untuk Barang Mewah Tak Perlu Ubah UU HPP
Parahnya, perubahan tarif PPN dalam rentang persentase tersebut digantungkan pada kebebasan bertindak (diskresi) pemerintah melalui peraturan pemerintah, bukan melalui undang-undang yang mengharuskan proses pembentukannya memperhatikan partisipasi publik secara bermakna (meaningful participation).
"Artinya, ketentuan yang demikian, sejak awal sudah mengandung ketidakpastian hukum," tulis TAUD-SKP dalam keterangan resminya, Jumat (21/2).
Kenaikan tarif PPN sangat mungkin dilakukan sekadar didasarkan pada pertimbangan mengisi defisit APBN semata tanpa melalui kajian akademis yang komprehensif dan tanpa mempertimbangkan kepentingan publik yang lebih luas.
Bahkan, yang lebih buruk lagi adalah hanya berdasarkan tekanan politik jangka pendek.
Kenaikan tarif PPN secara bertahap maupun pemberlakuannya terhadap barang dan/atau jasa yang sejatinya merupakan hak dan kebutuhan dasar warga negara telah menimbulkan banyak kerugian yang nyata.
Baca Juga: Tunda PPN 12%, Pemerintah Prabowo akan Revisi UU HPP
Warga harus mengalami kenaikan beban pengeluaran dan penurunan pendapatan, khususnya bagi warga yang berpenghasilan rendah.
Akses terhadap pelayanan esensial seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi yang seharusnya dinikmati sebagai Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hak Konstitusional warga negara menjadi terhambat.
"Kami memohon agar majelis hakim MK dapat melihat permasalahan norma dan dampak buruk pemberlakuan UU HPP ini secara jernih dan objektif, serta menempatkan aspirasi warga negara sebagai pertimbangan utama dalam menjatuhkan putusan. Dimana, hanya dengan cara tersebut, perubahan kebijakan perpajakan yang berkeadilan dapat terwujud," katanya.
Selanjutnya: Mercedes-Benz Resmi Rilis Seri Baru Luxury G-Class, Harganya Mulai Rp 5,4 M
Menarik Dibaca: Hujan Guyur Kota Jogja dan Sekitarnya Mulai Pukul 1 siang
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News