Reporter: Bidara Pink | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak kembali menguat pada perdagangan hari ini, Selasa (27/7). Per pukul 7:17 WIB, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) AS naik 0,9% dan terakhir diperdagangkan ke level US$ 66,91 per barel.
Sedangkan harga minyak Brent kontrak pengiriman September 2021 di ICE Futures berada di US$ 74,71 per barel. Harga minyak acuan internasional ini menguat 0,33% dari penutupan perdagangan kemarin.
Para ekonom memandang ini merupakan angin segar bagi penerimaan negara, terutama pada Juli 2021, khususnya pada penerimaan negara bukan pajak (PNBP) maupun dari sisi penerimaan pajak.
Baca Juga: Ekonom CORE beberkan tantangan penyaluran kredit keuangan berkelanjutan (ESG)
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira pun menghitung potensinya dari sisi PNBP, dengan asumsi harga minyak dunia per 1 Juni 2021 di sekitar US$ 66,91 per barel, berarti hingga hari ini, ada kenaikan harga sekitar US$ 7,8.
Bila melihat asumsi di nota keuangan APBN 2021 di mana kenaikan minyak mentah Indonesia sebesar US$ 1 per barel dapat menyebabkan pendapatan negara naik Rp 4,39 triliun, maka kenaikan harga minyak dunia ini berpotensi meningkatkan pendapatan negara sebesar US$ 34,24 triliun.
“Kita bisa menggunakan asumsi dari ICP tersebut karena penyusunan asumsi ICP juga referensi dari minyak mentah dunia,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Selasa (27/7).
Sementara dari sisi penerimaan pajak, Bhima menegaskan bahwa kenaikan belum akan terasa dalam penerimaan di bulan Juli 2021, karena kenaikan harga minyak tidak serta merta merubah kontrak penjualan migas yang ditetapkan sebelum kenaikan harga.
“Namun, overall ini kabar baik dari sisi penerimaan, karena harga minyak dan menyeret kenaikan penerimaan komoditas lainnya,” tambah Bhima.
Baca Juga: Pembukaan mal dengan syarat sertifikat vaksin tak akan dongkrak pengunjung
Senada, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky juga menilai bahwa ini akan membawa manfaat positif terhadap prospek penerimaan negara.
Namun, Riefky mengingatkan, bahwa kenaikan harga minyak ini juga akan berpotensi memberi tekanan dari sisi belanja negara dalam kaitannya dengan subsidi minyak.
Akan tetapi, dalam kasus bulan ini, tekanannya tidak akan terlalu banyak pasalnya ada pengurangan mobilitas dari pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat sepanjang bulan Juli 2021.
“Kebetulan akibat PPKM ini tekanan dari sisi belanja pada subsidi tidak terlalu besar karena konsumsi minyak turun, seiring dengan mobilitas yang juga menurun,” jelasnya.
Sementara untuk ke depannya, Riefky optimistis harga minyak akan kembali meningkat. Bahkan hitungan kasarnya, harga minyak bisa melambung hingga lebih dari US$ 80 per barel hingga akhir tahun 2021.
Hal ini seiring dengan potensi progres pemulihan negara-negara yang bisa saja meningkatkan permintaan minyak menjelang akhir tahun.
Berbeda dengan Riefky, Bhima skeptis harga minyak berpotensi naik lagi. Ia malah memperkirakan harga minyak di akhir tahun akan bergerak di kisaran US$ 64 per barel hingga US$ 68 per barel.
Hal ini seiring dengan naiknya kasus Covid-19 di beberapa negara hingga saat ini, sehingga menurunkan permintaan energi dan penurunan impor minyak China. Ini membuat dunia dibayangi lagi oleh kelebihan suplai minyak (oversupply).
Selanjutnya: Simak proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari berbagai lembaga ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News