kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.504.000   5.000   0,33%
  • USD/IDR 15.935   0,00   0,00%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Kenaikan cukai tunggu Kemkes dinilai berlebihan


Selasa, 14 Juni 2016 / 17:39 WIB
Kenaikan cukai tunggu Kemkes dinilai berlebihan


Sumber: TribunNews.com | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Direktur Eksekutif Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menilai sikap Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan yang mengedepankan pandangan Kementerian Kesehatan (Kemkes) terkait rencana kenaikan cukai dinilai berlebihan.

Pasalnya, cukai industri hasil tembakau (IHT) tidak bisa semata mengedepankan perspektif kesehatan.

Justru seharusnya pandangan industri yang harus jadi acuan utama karena merupakan subjek pajak dan cukai yang akan ditarik pemerintah.

Yustinus menilai, kontribusi IHT dari sebatang rokok sudah sangat besar, meliputi 57% cukai, 10% PPN, dan 10% Pajak Daerah dan Retribusi Daerah atau PDRD, sehingga total kontribusi cukai dan pajak rokok mencapai 77%.

"Kalau paradigma kesehatan dikedepankan, kemudian membatasi konsumsi, ketika pengawasan buruk maka justru akan memperbanyak rokok ilegal. Belum lagi ketika pemerintah tidak bisa menyiapkan konversi tenaga kerja dari IHT yang besar ke industri lain, ini juga bermasalah," ujar Yustinus, Senin (13/6).

Yustinus juga mempertanyakan penggunaan dana yang didapat dari pajak rokok untuk alokasi kesehatan yang tidak akuntabel. "Apakah selama ini penerimaan sudah dialokasikan dengan baik? Dan tidak akuntabel juga," tegas dia.

Ia menilai, jangan sampai pemerintah berparadigma membebani industri tembakau dengan tarif cukai tinggi tapi tanpa bisa mengelola dana-dana pajak dan cukai tembakau sehingga justru tidak bermanfaat sama sekali.

Menurut dia, roadmap pemerintah di sektor kesehatan dan penerimaan negara juga cenderung tidak jelas, sehingga yang terjadi industri tembakau lagi-lagi menjadi korban. Harus ada kebijakan komprehensif yang beriringan, melindungi IHT, tenaga kerja, sekaligus mengamankan penerimaan negara dari cukai.

"Sekarang ini selalu tarik menarik antar kementerian sehingga industri menjadi korban, dan ujungnya masyarakat juga yang jadi korban," tandasnya.

Adapun pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng, menilai DJBC tidak perlu menunggu sikap Kemenkes soal cukai.

Sebaiknya, Presiden meminta Kemenkes fokus mengurus masalah-masalah kesehatan masyarakat terutama berkaitan dengan akses kesehatan yang timpang tak adil.

Daeng mencontohkan, sikap Kemenkes terkait RUU Tembakau sangat aneh karena beleid itu soal agrikultur, perlindungan tanaman, dan tidak berkaitan dengan urusan kesehatan.

Herannya, isu-isu kesehatan lain, seperti soal makanan sampah atau junk food yang terbukti sangat merusak kesehatan, Kemenkes tidak peduli.

Padahal Kemenkes juga mengelola anggaran yang bersumber dari pajak rakyat dengan jumlah yang sangat besar.

Namun tidak ada program terobosan yang signifikan untuk kepentingan masyarakat luas. (Sanusi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×