kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kementerian Keuangan (Kemkeu) simulasikan dampak penggabungan produksi rokok


Senin, 08 Juli 2019 / 13:45 WIB
Kementerian Keuangan (Kemkeu) simulasikan dampak penggabungan produksi rokok


Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) saat ini sedang mensimulasikan dampak dari rencana penggabungan batasan produksi rokok sigaret Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM) menjadi tiga miliar batang. 

Penggabungan produksi tersebut dipercaya menjadi salah satu solusi terhadap berbagai persoalan terkait industri hasil tembakau.

Nasruddin Djoko Surjono, Kepala Bidang Kebijakan Kepabeanan dan Cukai Kementerian Keuangan menyatakan pembahasan mengenai peraturan tarif cukai, termasuk di dalamnya rencana penggabungan batasan produksi SPM dan SKM terus intensif dibahas. 

“Pembahasan ini sudah di level atas. Ini selalu dibahas. Kemungkinan sekitar Oktober atau November peraturan tarif cukai 2020 akan keluar,” kata Nasruddin, akhir pekan lalu.

Pembahasan mengenai peraturan tarif cukai, termasuk rencana penggabungan produksi SPM dan SKM mencakup beberapa tujuan.  Pertama, pengendalian konsumsi hasil tembakau.

Kedua, penyetaraan arena bermain alias level playing field antar pabrikan rokok. Ketiga, meningkatkan kepatuhan. Keempat, kemudahan administrasi. Kelima, pengoptimalan penerimaan negara.

“Tentunya akan ada pembahasan kembali dengan melibatkan stakeholders terkait bersamaan dengan pembahasan kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau," ujar Nasruddin.

Selama ini pemerintah menghadapi tantangan besar dalam upayanya menurunkan tingkat konsumsi rokok. Salah satu penyebabnya adalah ketimpangan harga rokok, khususnya di segmen SPM dan SKM di pasaran akibat pemanfaatan celah tarif cukai oleh para pabrikan besar asing.

Saat ini, masih ada pabrikan besar asing SPM dan SKM yang melakukan peghindaran membayar cukai yang lebih tinggi dengan cara menjaga produksinya di bawah tiga miliar batang, yang merupakan ambang batas penetapan tarif cukai tertinggi. 

Padahal, jika diakumulasi antara produksi SKM dan SPM, jumlah produksi pabrikan besar asing ini jauh melampaui tiga miliar batang. Celah ini yang membuat pabrikan besar asing menikmati tarif cukai yang lebih rendah sehingga berimbas kepada harga rokok yang lebih murah.

Anggota Komisi Keuangan, Amir Uskara, mengingatkan Kemkeu agar tidak ragu dalam melaksanakan penggabungan batasan produksi. Ketiadaan aturan ini menyebabkan adanya pabrikan besar asing yang terus menikmati tarif cukai yang lebih rendah sehingga mematikan pangsa pasar pabrikan kecil.

Kemkeu harus segera merealisasikan kebijakan tersebut demi menciptakan iklim bisnis yang kondusif. "Jangan sampai ada perusahaan rokok besar asing dengan pendapatan triliunan tetapi membayar cukai rokok yang lebih rendah,” kata Amir.

Sementara itu, Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), Heri Susanto, menambahkan pabrikan rokok kecil selama ini tertekan dengan pabrikan besar asing yang menikmati tarif cukai murah. 

Pemerintah, menurut dia, seharusnya mengatasi persoalan ini dengan segera menggabungkan batasan volume produksi SKM dan SPM menjadi tiga miliar batang. Pabrikan yang jumlah gabungan produksi SKM dan SPM mencapai tiga miliar batang harus membayar tarif cukai tertinggi di masing-masing golongan.

Menurut Heri, penerapan aturan secara berkeadilan di industri hasil tembakau akan dipertanyakan jika Batasan produksi SPM dan SKM tidak diakumulasikan. Sebab, tanpa penggabungan batasan produksi tersebut tidak akan tercipta persaingan yang adil dan sehat.

"Penggabungan SKM dan SPM supaya pabrik-pabrik besar yang punya brand internasional mainnya tidak seperti sekarang, ada yang golongan satu dan ada yang golongan dua. Dengan digabung, semua pabrik besar, apalagi pabrikan asing, harus naik ke atas , masuk golongan I," kata Heri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×