Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan, rencana pemerintah untuk menambah objek pajak pertambahan nilai (PPN) tetap akan melindungi ekonomi masyarakat.
Bendahara negara itu bilang untuk kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan yang dibutuhkan oleh masyarakat berpenghasilan miskin tetap diberikan subsidi. Alias dikecualikan dari pungutan PPN.
“Sekali lagi di sini kita bisa menggunakan subsidi mengunakan belanja negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan tidak menggunakan menarik PPN-nya, dalam rangka compliance dan memberikan targeting yang lebih baik,” kata Menkeu saat rapat Kerja Bersama Komisi XI DPR RI, Senin (28/6).
Baca Juga: Wacana PPN atas sembako, 87% netizen tidak setuju
Kendati demikian, untuk kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan yang tergolong mewah atau merogoh kocek dalam, pemerintah tetap akan mengenakan PPN.
Rencana kebijakan PPN tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan, selama ini yang menjadi non-barang kena pajak dan jasa kena pajak atau non-BKP/JKP sudah mendapatkan subsidi dan dibubuhkan dalam tax expenditure atau belanja perpajakan setiap tahun.
Dengan tetap adanya menghapusan objek pajak non-BKP-JKP, justru bisa memperkecil belanja perpajakan. Tapi, Yustinus bilang apabilan beleid tersebut disetujui parlemen dengan konsep saat ini, maka pemerintah tetap mengoptimalkan selisih belanja perpajakan ke depan untuk mendorong ekonomi.
“Alokasi tax expenditure bisa dipakai untuk sektor lain yang butuh insentif dan produktif,” kata Yustinus kepada Kontan.co.id, Senin (28/6).
Adapun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan realisasi belanja perpajakan sepanjang tahun 2020 sebesar Rp 228 triliun. Angka tersebut turun sekitar 11,3% dari realisasi 2019 senilai Rp 257,2 triliun. Salah satu kontributor terbanyak yakni akibat adanya sederat non-BKP/JKP.
Baca Juga: Setoran PPN pelanggan Netflix, Spotify cs mencapai Rp 2,25 triliun per Juni 2021
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy menilai, sebaiknya alokasi belanja perpajakan tersebut diberikan kepada sektor manufaktur. Kata dia sektor yang banyak menyerap tenaga kerja dan produk yang dibutuhkan oleh masyarakat ini butuh insentif PPN.
Menurutnya, insentif PPN untuk sektor manufaktur dapat mendorong pemulihan ekonomi nasional. Hal ini juga mengingat sektor manufaktur merupakan salah satu sektor terbesar dalam penyumbang produk domestik bruto (PDB).
“Namun demikian juga perlu dicatat dalam mendorong belanja perpajakan untuk insentif, bahwa insentif pajak saja tidak cukup untuk mendorong sebuah sektor dalam pertumbuhan ekonomi diperlukan bauran kebijakan lain,” kata Yusuf kepada Kontan.co.id, Senin (28/6).
Secara umum, Yusuf sepakat jika pemerintah tetap harus memberikan subsidi untuk PPN atas kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan kesehatan tertentu untuk tetap menstabilkan perekonomian, di masa pemulihan yang diprediksi masih berlanjut hingga 2023.
“Karena seperti yang kita tahu bahwa jasa kesehatan, pendidikan beserta kebutuhan pokok merupakan basic needs yang penyediaannya memang harus dibantu oleh pemerintah,” ujar dia.
Yusuf menyarankan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak melalui RUU KUP, sebaiknya pemerintah mengenakan tarif PPN normal terhadap barang hasil pertambangan, serta jasa keuangan dan asuransi.
Baca Juga: Soal PPN sembako dan sekolah, Sri Mulyani: Pemerintah beri fasilitas dan subsidi
Selain itu, pemerintah juga dapat mengenakan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan sesuai dengan keuntungan yang didapat supaya lebih adil.
Adapun sebagaimana perubahan RUU tersebut pemerintah akan memperluas objek kena pajak. Dari sisi barang antara lain barang kebutuhan pokok atau sembako, serta barang pertambangan.
Dari sisi jasa, pemerintah akan menarik pajak atas jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa asuransi, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum darat dan air, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, dan jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
Lebih lanjut, beleid tersebut juga mengubah tarif PPN menjadi 12% dari yang saat ini berlaku sebesar 10%. Namun, di saat bersamaan pemerintah juga akan mengatur kebijakan PPN multi tarif yakni tarif rendah 5% dan tarif tinggi 25% untuk barang/jasa tertentu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News