Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto
Adapun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan realisasi belanja perpajakan sepanjang tahun 2020 sebesar Rp 228 triliun. Angka tersebut turun sekitar 11,3% dari realisasi 2019 senilai Rp 257,2 triliun. Salah satu kontributor terbanyak yakni akibat adanya sederat non-BKP/JKP.
Baca Juga: Setoran PPN pelanggan Netflix, Spotify cs mencapai Rp 2,25 triliun per Juni 2021
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy menilai, sebaiknya alokasi belanja perpajakan tersebut diberikan kepada sektor manufaktur. Kata dia sektor yang banyak menyerap tenaga kerja dan produk yang dibutuhkan oleh masyarakat ini butuh insentif PPN.
Menurutnya, insentif PPN untuk sektor manufaktur dapat mendorong pemulihan ekonomi nasional. Hal ini juga mengingat sektor manufaktur merupakan salah satu sektor terbesar dalam penyumbang produk domestik bruto (PDB).
“Namun demikian juga perlu dicatat dalam mendorong belanja perpajakan untuk insentif, bahwa insentif pajak saja tidak cukup untuk mendorong sebuah sektor dalam pertumbuhan ekonomi diperlukan bauran kebijakan lain,” kata Yusuf kepada Kontan.co.id, Senin (28/6).
Secara umum, Yusuf sepakat jika pemerintah tetap harus memberikan subsidi untuk PPN atas kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan kesehatan tertentu untuk tetap menstabilkan perekonomian, di masa pemulihan yang diprediksi masih berlanjut hingga 2023.
“Karena seperti yang kita tahu bahwa jasa kesehatan, pendidikan beserta kebutuhan pokok merupakan basic needs yang penyediaannya memang harus dibantu oleh pemerintah,” ujar dia.
Yusuf menyarankan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak melalui RUU KUP, sebaiknya pemerintah mengenakan tarif PPN normal terhadap barang hasil pertambangan, serta jasa keuangan dan asuransi.
Baca Juga: Soal PPN sembako dan sekolah, Sri Mulyani: Pemerintah beri fasilitas dan subsidi