Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ancaman resesi global bisa menekan penerimaan pajak pada tahun depan, utamanya pada sektor yang berkaitan dengan kegiatan ekspor.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Asral menyebut, ancaman resesi tahun depan kemungkinan akan menyebabkan tertundanya kegiatan ekspor. Diantaranya ekspor yang berhubungan dengan sektor pertambangan dan industri pengolahan.
“Kalau kita lihat dengan potensi resesi global, misalnya kalau nanti ini menyebabkan ekspor kita tertunda, tentu yang akan dicermati apakah dampaknya nanti terhadap sektor yang melakukan ekspor, seperti industri pengolahan ataupun sektor yang ada di area perdagangan,” tutur Yon dalam konferensi pers APBN KITA, Jumat (21/10).
Meski begitu, Yon mengatakan perkembangan atau dampak dari resesi tersebut akan sangat dinamis, sehingga pihaknya juga akan terus mencermati dari dampak resesi terhadap sektor penerimaan pajak yang kemungkinan akan terjadi pada tahun depan tersebut.
Baca Juga: Penyaluran Kredit Tahun Depan Diramal Masih Tumbuh Meski Resesi Menghantui
“Tentu kita akan cermati, kita evaluasi dari waktu ke waktu, karena perkembangannya masih akan dinamis,” tambahnya.
Untuk diketahui, dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 1.715,1 triliun. target penerimaan ini naik 15,69% dari penerimaan pajak tahun ini yang sebesar Rp 1.485 triliun.
Adapun dalam dua tahun terakhir yakni 2021-2022, penerimaan pajak RI mengalami pertumbuhan yang sangat pesat berkat windfall profit dari naiknya harga komoditas.
Penerimaan pajak dari sektor pertambangan tumbuh 60,52% secara tahunan atau year on year (YoY) pada 2021, sementara pertumbuhan pada tahun ini, hingga September tercatat tumbuh 199,8% YoY. Lalu, untuk sektor industri pengolahan, tahun lalu juga berhasil tumbuh 16,77% YoY, dan tahun ini hingga September 2022 berhasil tumbuh 47,4% YoY.
Sedangkan untuk sektor lainnya yang tumbuh positif selama 2021 diantaranya, perdagangan 28,79% YoY, jasa keuangan 0,02% YoY, konstruksi dan real estat 9,53% YoY, informasi dan komunikasi 14,03% YoY, transportasi dan pergudangan 9,75% YoY, dan jasa perusahaan 3,52% YoY.
Kemudian, untuk periode hingga September 2022, perdagangan tumbuh 62,5%, jasa keuangan dan asuransi 15,4%, konstruksi dan real estate 7,8%, informasi dan komunikasi 16,2%, transportasi dan pergudangan 26,1%, dan jasa perusahaan 22,9%.
Baca Juga: Meski Inflasi Naik, Nilai Transaksi Digital Banking Tumbuh 29,47% pada Kuartal III
Sayangnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menyebut, penerimaan negara yang moncer dalam dua tahun berkat harga komoditas yang melesat tersebut akan berakhir pada tahun ini. Sehingga tidak akan menjadi pendorong kinerja penerimaan pajak di tahun depan. Selain itu, program PPS juga tidak akan ada lagi di tahun depan.
Artinya pemerintah harus mengejar dan mengandalkan penerimaan pajak dalam negeri untuk memenuhi target penerimaan pajak tahun depan yang ditargetkan meningkat dari tahun ini.
Untuk mengejar target penerimaan tersebut, pemerintah akan mengandalkan penerimaan, pada jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ini sejalan dengan tarifnya yang naik menjadi 11%, pun dengan makin kuatnya pemulihan ekonomi dalam negeri, serta konsumsi rumah tangga yang meningkat diperkirakan terus meningkat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News