Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan PT PLN (Persero) melakukan penandatanganan Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri/Subsidiary Loan Agreement (PPLN/SLA) dalam rangka Pembiayaan Development of Pumped Storage Hydropower in The Java-Bali System Project.
Proyek ini bernilai sebesar US$ 610 juta (Rp 8,7 triliun) yang berasal dari Bank Dunia dan AIIB.
Diharapkan pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Pumped Storage dengan kapasitas 1040 megawatt (MW) yang berlokasi di Provinsi Jawa Barat ini dapat meningkatkan kapasitas pembangkit listrik yang signifikan pada saat beban puncak terutama untuk kawasan yang membutuhkan permintaan tenaga listrik yang besar yaitu Jawa Barat dan Jabodetabek.
Selain itu, PLTA Pumped Storage juga mendukung transisi energi dan pencapaian tujuan penurunan emisi karbon di Indonesia.
Baca Juga: Mempercepat Hilirisasi Batubara
Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu Hadiyanto mengungkapkan, SLA merupakan salah satu sumber pembiayaan yang digunakan oleh PT PLN untuk membiayai proyek pembangunan pembangkit listrik di Indonesia, terutama pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT).
“Indonesia telah berkomitmen mempercepat transisi energi dengan mematok target bauran energi dari EBT sebesar 23 persen pada 2025 serta pemenuhan Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk mendukung komitmen tersebut dan selaras dengan fokus Energy Transitions Working Group, isu pendanaan yang menjadi prioritas G20 dalam transisi energi dapat diatasi oleh sumber pembiayaan yang disediakan Pemerintah dalam bentuk Penerusan Pinjaman Luar Negeri,” kata Hadiyanto dalam keterangan tertulis, Senin (14/3).
Hingga akhir Desember 2021, pembiayaan EBT melalui SLA yang telah disalurkan oleh Kemenkeu adalah sebesar JPY 80,38 miliar dan USD 441,80 juta atau ekuivalen dalam mata uang rupiah sebesar Rp16,26 Triliun.
Adapun komitmen pembiayaan SLA untuk EBT yang belum disalurkan US$ 197,5 juta (Rp2,82 triliun), sedangkan pembiayaan EBT yang masih proses SLA dan LA sebesar US$ 957,50 juta atau ekuivalen dalam mata uang rupiah sebesar Rp13,66 triliun.
Baca Juga: Pengembangan PLTN Dinilai Sudah Masuk Masa Senja
Pembiayaan tersebut digunakan untuk proyek pembangunan PLTA dan geothermal serta fasilitas pembiayaan hijau (Green Finance Facility).
SLA untuk pembiayaan di sektor energi tersebut disalurkan kepada PT PLN dan PT Pertamina serta PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang merupakan lembaga pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur.
“Pemberian penerusan pinjaman atau SLA telah memberikan manfaat yang luar biasa pada berbagai sektor,” katanya.
Pertama, pembangunan infrastruktur pada sektor energi untuk pencapaian program 1/2 energi listrik 35.000 megawatt melalui pembiayaan untuk transmisi, gardu induk, dan pembangkit listrik baik energi tidak terbarukan maupun energi terbarukan.
Baca Juga: BRI Salurkan Kredit ke Sektor Energi Baru Terbarukan Senilai Rp 5,6 Triliun pada 2021
Kedua, sektor transportasi seperti jalan tol, kereta rel listrik (KRL) dan Mass Rapid Transit Jakarta. Ketiga, sektor kesehatan untuk pembangunan rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya serta sektor perdagangan untuk pembangunan pasar-pasar modern di berbagai daerah.
Hadiyanto bepersan kepada PT PLN agar melaksanakan proyek-proyek yang dibiayai oleh SLA ini dengan sebaik mungkin dan wajib menekan seminimal mungkin potensi keterlambatan dalam pelaksanaan pembangunan proyek dimaksud.
Selain itu, PT PLN (Persero) diminta membuat jadwal dan mengawasi secara ketat setiap pengerjaan proyek, dimulai sejak masa persiapan, pembangunan hingga masa pemeliharaan proyek ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News