Reporter: Bidara Pink | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan bisa memberikan bantuan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam menangani bank gagal. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 38/PMK.02/2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan atau Stabilitas Sistem Keuangan dan PMK 33/PMK.010/2020 tentang Tata Cara Pemberian Pinjaman Dari Pemerintah Kepada Lembaga Penjaminan Simpanan.
Dalam PMK 38, menkeu menjelaskan bahwa pinjaman yang dimaksud bisa diberikan apabila LPS diperkirakan mengalami kesulitan likuiditas dalam menangani bank gagal. Apalagi, ini juga berkaitan dengan kebijakan negara dalam menghalau dampak negatif dari Covid-19 terhadap perekonomian domestik.
Baca Juga: Stimulus fiskal sudah mencapai US$ 8 triliun belum cukup melawan corona
"Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Covid-19 dan untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan, pemerintah bisa memberi pinjaman kepada LPS," bunyi ketentuan dalam PMK tersebut yang ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Tingkat likuiditas LPS merupakan persentase dari perbandingan antara kemampuan sumber daya keuangan yang tersedian dan kebutuhan dana yang diperlukan oleh LPS. LPS dinilai mengalami kesulitan likuiditas bila tingkat likuiditasnya kurang dari 100%.
Namun, sebelum mengajukan pinjaman kepada menkeu, PMK 33 menyebut bahwa LPS diperbolehkan untuk melepas surat berharga yang dimiliki untuk menambah kebutuhan likuiditasnya. baru, setelah langkah tersebut tetap tidak memenuhi kebutuhan likudiitas, LPS bisa mengajukan permohonan pinjaman pada Menkeu.
"Menteri dapat memberikan pinjaman kepada LPS sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang (UU) mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau APBN Perubahan (APBN-P)," jelas beleid tersebut.
Nantinya, permohonan pinjaman tersebut harus disampaikan secara tertulis oleh Ketua Dewan Komisioner LPS kepada Menkeu dengan tembusan kepada Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Direktur Jenderal (Dirjen) Anggaran, Dirjen Perbendaharaan, dan Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko.
LPS wajib melampirkan data berupa kondisi tingkat likuiditas terakhir, upaya yang telah dilakukan LPS untuk memenuhi kebutuhan likuiditas, estimasi kebutuhan likuiditas, dan data jaminan.
Selain itu, ada juga rincian rencana penggunaan dana pinjaman, rencana penarikan dana pinjaman, rencana pengembalian dana pinjaman disertai analisis kemampuan membayar kembali, serta laporan keuangan yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama 3 tahun terakhir.
Baca Juga: Jangan panik! Analis menilai risiko gagal bayar obligasi korporasi masih mini
Setelah LPS mengajukan pinjaman, maka BKF bersama dengan para Dirjen tersebut akan melakukan penilaian dengan memperhatikan tingkat likuiditas, kebutuhan likudiitas, kemampuan membayar kembali LPS, kapasitas fiskal, dan kesinambungan APBN. Ini juga harus disesuaikan dengan kondisi ketersediaan kas negara serta risiko fiskal.
Lebih lanjut, alokasi pemberian pinjaman kepada LPS tersebut dapat berasal dari pergeseran alokasi pada BA BUN Pengelolaan Investasi Pemerintah (BA 999.03) atau bahkan bisa dengan tambahan alokasi baru.
Namun, bila diperlukan tambahan alokasi baru, menkeu harus menetapkan sumber-sumber pembiayaan anggaran yang digunakan untuk membiayai tambahan alokasi tersebut. Pinjaman kepada LPS ini juga ditetapkan dalam perubahan postur APBN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News