kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kemenkeu belum terbitkan superdeduction tax untuk R&D, ini penyebabnya


Selasa, 15 Oktober 2019 / 15:49 WIB
Kemenkeu belum terbitkan superdeduction tax untuk R&D, ini penyebabnya


Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 tentang pemberian fasilitas pengurangan pajak penghasilan (PPh) super atau superdeduction tax telah diterbitkan sejak pertengahan tahun.

Namun, masih ada satu lagi janji insentif pajak dari pemerintah yang belum terealisasi sampai saat ini yaitu superdeduction tax bagi wajib pajak (WP) badan yang melakukan investasi pada riset dan pengembangan (R&D).

Baca Juga: Dinilai merugikan, buruh tolak RUU Ketenagakerjaan

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, rumusan insentif pajak tersebut masih dalam pembahasan. Sebab ia mengakui, Kemenkeu belum sepenuhnya memahami apa basis yang tepat untuk menentukan besaran insentif bagi investasi R&D oleh wajib pajak perusahaan. 

“Terus terang kami di Kemenkeu tidak paham dunia R&D ini bagaimana. Mau patokannya seperti apa, paten kah? Tapi kalau paten kan berarti nanti jadi lama sekali untuk bisa mendapatkannya (insentif),” tutur Suahasil saat menghadiri Apindo Investment and Trade Summit 2019, Selasa (15/10).

Suahasil melanjutkan, pihaknya juga terus berdiskusi dengan pihak Kementerian Ristekdikti serta akademisi di kalangan universitas untuk merumuskan kebijakan superdeduction tax tersebut.

Ia juga mengharapkan para pelaku usaha yang selama ini telah melakukan investasi untuk R&D serta memiliki output yang konkret, dapat memberikan usulan dan masukan untuk pemerintah.

“Karena angkanya berapa, seberapa biaya yang dibutuhkan untuk membuat satu paten, misalnya. Mesti ada standard yang baik,” lanjut Suahasil.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengusulkan, perusahaan yang berhak mendapatkan insentif superdeduction tax untuk investasi R&D tak hanya terbatas pada output paten. Perusahaan yang aktivitas R&D nya menghasilkan inovasi produk juga dianggap layak memperoleh insentif.

Baca Juga: Indonesia dan Singapura sepakat kembangkan vokasi industri

“Contohnya dulu industri LCGC (low-cost green car) di dunia itu tidak ada. Lalu sekarang dengan regulasi yang berkembang di Indonesia, jenis kendaraan itu dikembangkan beberapa perusahaan otomotif dan menjadi basis untuk ekspor. Nah yang seperti inilah yang eligible,” tutur Airlangga pada kesempatan yang sama.

Contoh lain, lanjut Airlangga, ialah industri farmasi yang juga menjadi salah satu fokus pemerintah di sektor manufaktur. Airlangga mengatakan, farmasi merupakan industri manufaktur yang tidak mungkin berkembang tanpa adanya R&D.

Namun penelitian dan pengembangan pada industri farmasi tak serta merta mesti menghasilkan produk yang sifatnya paten. “Jadi nanti akan kita usulkan diskusi sehingga pengembangan produk pun bisa menjadi bagian dari inovasi dan mendorong R&D dalam sektor manufaktur melalui pemberian insentif ini (superdeduction tax),” kata Airlangga.

Baca Juga: Begini langkah investasi saham lewat platform ModalSaham

Adapun Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai, pemerintah tak mesti memilih salah satu dari opsi hasil paten atau pengembangan produk sebagai dasar penghitungan superdeduction tax.

“Ya dua-duanya saja kasih. Toh keduanya memang sama-sama memungkinkan. Ada yang bisa menghasilkan paten, ada juga yang sifatnya inovasi produk,” tutur Hariyadi saat ditemui, Selasa (15/10). 

Ia juga berharap pemerintah tak setengah hati dalam merealisasikan kebijakan insentif pajak untuk R&D. Sebab inovasi menjadi salah satu kunci penting dalam perkembangan dan daya saing sektor manufaktur Indonesia ke depan.

Laporan Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index) yang dirilis World Economic Forum (WEF) baru-baru ini misalnya, menunjukkan bahwa kapabilitas inovasi menjadi indikator penilaian dengan skor terendah di Indonesia. Nilai belanja untuk R&D pun tercatat hanya 0,1% dari PDB Indonesia.

Baca Juga: Gelar ACBS di Jakarta, Bekraf dukung pengembangan industri konten kreatif

Asal tahu saja, dalam PP Nomor 45/2019, pemerintah menjanjikan fasilitas superdeduction tax untuk investasi riset dan pengembangan yang dilakukan oleh perusahaan dengan besarannya mencapai 300%.

Ambil contoh sebuah perusahaan membangun pusat riset dan pengembangan di dalam negeri dengan nilai investasi Rp 1 miliar, maka pemerintah akan memberi pengurangan terhadap PPh hingga Rp 3 miliar. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×