Reporter: Bidara Pink | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konflik Rusia-Ukraina dan pergeseran kebijakan pengetatan oleh Federal Reserve menjadi penyebab pergerakan dana asing secara global. Di Indonesia, aliran dana asing pun berkurang, termasuk pada investasi portofolio.
Kepala ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memandang, akan masih ada tantangan terhadap prospek masuknya aliran modal asing ke investasi portofolio pada tahun ini. Tantangan yang dimaksud datang dari faktor eksternal.
“Salah satunya, bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve yang cenderung lebih hawkish,” tutur David kepada Kontan.co.id, Rabu (25/5).
Baca Juga: Ekonom UI: Tren Capital Outflow Masih Bakal Berlanjut
David mengatakan, bahkan tren keluarnya asing dari pasar keuangan dalam negeri (capital outflow) sudah mulai terjadi sejak tahun lalu, terutama di pasar obligasi. Sedangkan untuk di pasar saham, outflow mulai terlihat setelah Idul Fitri 2022 atau sejak awal Mei 2022.
Ke depan, David memandang, faktor eksternal masih akan sangat berpengaruh terhadap aliran modal asing ke Indonesia. Namun, Indonesia tetap bisa berbenah di dalam negeri agar tetap menarik di mata para penanam modal.
Seperti, menjaga tren pemulihan ekonomi sehingga pertumbuhan ekonomi bisa lebih kuat. Kemudian, Indonesia tetap bisa menjaga inflasi. Dalam hal ini, David mengapresiasi langkah pemerintah untuk menambah subsidi energi sehingga lonjakan inflasi bisa ditekan.
“Dengan langkah tersebut, diharapkan inflasi dan pertumbuhan 2022 masih terjaga. Ini bisa menjadi katalis baru,” tambah David.
Baca Juga: LPS Pertahankan Tingkat Bunga Penjaminan
Selain itu, Indonesia juga disarankan untuk lebih agresif dalam menjemput bola calon investor di pasar obligasi. Indonesia bisa menawarkan bank sentral negara lain, sovereign wealth fund (SWF) negara lain, atau lembaga internasional yang sekiranya akan berinvestasi dengan jangka panjang.
Meski gonjang-ganjing di pasar portofolio, David melihat adanya prospek bagus di penanaman modal asing (PMA) langsung. Hal ini seiring dengan perusahaan-perusahaan yang sudah mulai ekspansi setelah aktivitas investasi tersendat selama periode Covid-19. Belum lagi, suku bunga The Fed yang tinggi sehingga membuat para investor melakukan rotasi.
Lebih lanjut, dengan kondisi tersebut, David melihat kondisi nilai tukar rupiah masih berpotensi melemah. Ini juga seiring dengan pergerakan nilai tukar negara-negara sebaya. Namun, David percaya pelemahan mata uang Garuda tak akan seburuk negara-negara tersebut.
Baca Juga: BI Memproyeksikan Inflasi pada 2022 Bisa Berada di Atas 4%
Menurut perkiraan David, dalam jangka pendek, nilai tukar rupiah akan bergerak di kisaran Rp 14.500 per dolar AS hingga Rp 14.800 per dolar AS.
Dia berharap, kondisi ke depan tetap baik, seperti harga komoditas yang tetap tinggi sehingga bisa memberi efek multiplier pada nilai tukar rupiah. Pasalnya, bila harga komoditas kemudian turun dan The Fed lebih agresif, nilai tukar rupiah bisa lebih lemah.
“Kita berharap saja jangan terjadi shock. Ataupun, kalau memang ada hal yang sangat berisiko, diharapkan pelemahan nilai tukar rupiah akan gradual, tidak langsung turun dalam,” tandas David.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News