kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.515.000   -13.000   -0,85%
  • USD/IDR 16.113   0,00   0,00%
  • IDX 7.080   43,33   0,62%
  • KOMPAS100 1.058   7,20   0,69%
  • LQ45 827   1,51   0,18%
  • ISSI 216   1,79   0,84%
  • IDX30 423   0,27   0,06%
  • IDXHIDIV20 512   -2,14   -0,42%
  • IDX80 120   0,73   0,61%
  • IDXV30 126   0,70   0,56%
  • IDXQ30 142   -0,50   -0,35%

Kebijakan PPN 12% Bisa Ditunda, Asal Ada Keberanian Politik


Minggu, 29 Desember 2024 / 23:33 WIB
Kebijakan PPN 12% Bisa Ditunda, Asal Ada Keberanian Politik
ILUSTRASI. Sejumlah pengunjuk rasa membawa poster saat aksi penolakan PPN 12 persen di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/12/2024). Dalam tuntutannya, mereka menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen karena dianggap akan memicu lonjakan harga barang dan jasa yang memberatkan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan/foc.


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 terus memicu perdebatan.

Meskipun kebijakan ini diambil untuk meningkatkan penerimaan negara guna menekan defisit anggaran, dampaknya terhadap daya beli masyarakat menjadi perhatian utama.

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), M Rizal Taufikurahman memperingatkan bahwa kenaikan tarif PPN ini berpotensi menurunkan konsumsi masyarakat secara signifikan, terutama di tengah kondisi ekonomi global yang belum stabil.

Baca Juga: Disebut Provokasi Tolak PPN 12%, Politisi PDI-P Rieke Diah Pitaloka Dilaporkan ke MKD

“Kenaikan harga barang dan jasa akibat tarif ini akan melemahkan daya beli masyarakat, yang sangat berisiko bagi kelas menengah ke bawah sebagai penggerak utama perekonomian Indonesia,” ujar Rizal kepada Kontan, Minggu (29/12).

Rizal menilai bahwa kebijakan ini dapat memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi jika tidak diimbangi dengan langkah mitigasi yang efektif.

Tekanan terhadap daya beli akan berdampak langsung pada stabilitas ekonomi, terutama dalam jangka pendek.

Ia menambahkan bahwa inflasi akibat kenaikan PPN dapat mengganggu stabilitas harga dalam jangka menengah hingga panjang, sehingga memicu ketidakpuasan publik dan tekanan sosial yang meningkat.

Sebagai alternatif, Rizal menyarankan pemerintah untuk memperluas basis pajak secara inklusif daripada menaikkan tarif PPN.

Baca Juga: Hampir 200.000 Masyarakat RI Tekan Petisi Tolak Kenaikan PPN 12%

Beberapa langkah yang diusulkan meliputi: Optimalisasi pajak penghasilan dari sektor korporasi dan digital, Peningkatan pajak pada sektor strategis seperti pertambangan, dan Pajak kekayaan bagi rumah tangga kaya untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan progresif.

“Kebijakan perpajakan yang inklusif dan progresif lebih efektif daripada menambah beban masyarakat melalui kenaikan PPN. Ini akan menjaga daya beli dan stabilitas ekonomi,” jelasnya.

Secara hukum, Rizal menyebutkan bahwa kenaikan tarif PPN masih bisa ditunda atau dibatalkan melalui revisi peraturan pemerintah atau undang-undang terkait.

Namun, hal ini memerlukan keberanian politik serta kesadaran pemerintah akan kondisi ekonomi rakyat saat ini.

“Jika pemerintah tetap memaksakan kebijakan ini tanpa mitigasi yang efektif, risiko stagnasi ekonomi dan meningkatnya ketidakpuasan publik akan menjadi ancaman serius di masa depan,” tandas Rizal.

Selanjutnya: Kecelakaan Jeju Air Terparah di Korea Selatan: 179 Meninggal Dunia, Dua Selamat

Menarik Dibaca: Solusi Rumah Tangga Praktis untuk Sambut Tahun Baru

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×