kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kebijakan baru pajak dan retribusi daerah mematik polemik


Rabu, 15 Desember 2021 / 20:12 WIB
Kebijakan baru pajak dan retribusi daerah mematik polemik
ILUSTRASI. Pemerintah Kota Palembang berencana memungut retribusi sebesar Rp4 ribu per ton kepada angkutan batubara


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Pusat telah memangkas jenis pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Namun kebijakan ini disinyalir akan mematik masalah baru.

Adapun kebijakan baru PDRD tertuang dalam Undang-Undang tentang Hubungan Antara Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Belied ini telah disetujui oleh DPR RI pada 7 Desember 2021. Kini UU HKPD tinggal ditandatangani Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan menunggu proses penomoran.

Direktur Jenderal (Dirjen) Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Astera Prima Bhakti mengatakan Undang-Undang (UU) HKPD bertujuan untuk memberikan sinergi fiskal pempus dan pemda.

Sehingga, belanja pemerintah pusat dan pemda bisa optimal. Sebab, Prima mengatakan dengan kondisi keuangan pemda dan pusat yang belum sinkron, pelayanan publik antar daerah belum merata.

Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu strategi pemerintah dalam UU HKPD yakni mengembangkan sistem pajak daerah yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien.

Baca Juga: Pajak dan Retribusi Daerah Anyar Menjadi Beban Baru Masyarakat

Setali tiga uang, pempus menyederhanaan jenis pajak daerah dan retribusi daerah  untuk mengurangi biaya administrasi pemungutan.  Salah satu bentuk penyederhanaan adalah reklasifikasi 16 jenis pajak daerah menjadi 14 jenis pajak.

“Jadi bukan karena ojeknya hilang tapi digabungkan yang buat sejenis, harapannya dengan demikian pengumpulan administrasinya baik,” kata Prima saat Konferensi Pers Sosialisasi UU HKPD, Rabu (15/12).

Kemudian, rasionalisasi retribusi Daerah dari 32 jenis layanan menjadi 18 jenis layanan. Prima bilang hal ini dimaksudkan untuk memudahkan optimalisasi dan integrasi pemungutan, memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, serta dilakukan dalam rangka efisiensi pelayanan publik di daerah.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa meskipun terdapat penyederhanaan jenis PDRD, hal tersebut tidak mengurangi jumlah PDRD yang akan diterima daerah.

“Perubahan pengaturan pajak daerah termasuk tarif, justru akan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah secara terukur,” ujar Prima.

Dengan demikian, Prima berharap pemerintah daerah baik provinsi atau kabupaten/kota bisa mendapatkan basis pajak baru.

Adapun Kemenkeu memprediksi penerimaan daerah akan mendapatkan tambahan sebesar Rp 30,1 triliun setelah implementasi UU HKPD. Rencananya, kebijakan baru PDRD paling lama diterapkan pada tahun 2023.

Baca Juga: Pokok-pokok perbandingan aturan pajak daerah yang baru dengan yang lama

Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Sarman Simanjorang mengatakan implementasi dari beleid tersebut harus memperhatikan momentum pemulihan ekonomi di setiap daerah. Sebab, jika terburu-buru justru akan membebani dunia usaha.

Menurutnya, ada beberapa kebijakan PDRD baru yang bisa buat beban baru pelaku usaha. Misalnya, adanya retribusi baru untuk daerah perkebunan kelapa sawit, dan kenaikan tarif maksimal pajak bumi bangunan (PBB).

“Karena sampai saat ini sebenarnya pengusaha masih butuh stimulus. Diharapkan pemerintah daerah juga tidak terburu-buru membuat peraturan daerah (perda) sebagai implementasi UU HKPD,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×