kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kartel di Industri Minyak Goreng Dinilai Sulit Terjadi, Ini Alasannya


Senin, 17 Oktober 2022 / 21:09 WIB
Kartel di Industri Minyak Goreng Dinilai Sulit Terjadi, Ini Alasannya
Harga baru minyak goreng kemasan mengikuti pasar pada salah satu gerai ritel di Jakarta, Kamis (17/3/2022). Kartel di Industri Minyak Goreng Dinilai Sulit Terjadi, Ini Alasannya.


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan dugaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adanya kartel yang dilakukan 27 perusahaan produsen minyak goreng, sulit dibuktikan. 

Ia mengatakan sulit terjadi kartel di industri minyak goreng karena produsennya terlalu banyak. "Dalam hukum ekonomi, kalau pemain atau produsennya terlalu banyak akan sulit terjadi kartel, berbeda jika pemainnya sedikit,” kata Tungkot dalam  siaran pers Senin, (17/10). 

Menurut Tungkot, produsen minyak goerng dengan skala besar mencapai lebih dari 70 perusahaan. sementara yang menengah dan kecil lebih banyak lagi. Hampir setiap provinsi di Indonesia ada produsen. 

Baca Juga: Sidang Dugaan Kartel Minyak Goreng Ditunda

“Bagaimana mungkin terjadi kartel jika industrinya terlalu banyak. Apalagi, jumlah distributor dan sub distributornya banyak sekali, bahkan mencapai ribuan. Belum lagi konsumennya pun banyak,” jelas Tungkot. 

Konsumen minyak goreng, lanjutnya, sangat besar, mulai dari industri makanan, restoran cepat saji, UMKM, dan rumah tangga. Dari segi kualitas juga banyak sekali ragamnya, mulai minyak goreng premium, kemasan sederhana hingga minyak goreng curah dengan peruntukan yang berbeda-beda. 

PASPI mencatat, industri hulu  minyak goreng melibatkan lebih dari 3.000 perusahaan produsen CPO yang tersebar di seluruh Indonesia. Produk atau mereknya pun banyak sekali, macam-macam. 

Tungkot menjelaskan, salah satu indikasi atau cara untuk mengetahui adanya kartel itu, sangat gampang. 

Baca Juga: Sidang Perdana Dugaan Kartel Minyak Goreng Digelar Senin (17/10)

Yakni, dengan melihat, apakah harga minyak goreng itu di atas harga mekanisme pasar atau tidak. Jika harga yang dibayarkan oleh konsumen sama atau lebih rendah dari harga pasar, kartel atau oligopoli tak terjadi. 

Ia menjelaskan minyak goreng itu bukan hanya diperdagangkan dalam negeri tetapi juga diperdagangkan di tingkat global dalam bentuk RBDPO (Refined, Bleached and Deodorizing Palm Oil). Hal ini terlihat, ternyata harga dalam negeri dan internasional sangat jauh perbedaannya. 

Selain itu, di pasar minyak goreng dalam negeri banyak sekali beredar produk minyak goreng dengan merek yang berbeda-beda. Begitu, juga dengan kualitas yang berbeda-beda. 

Tungkot pun mengapresiasi peran pemerintah yang berhasil melindungi pasar minyak goreng dalam negeri tetap lebih murah dibandingkan dengan harga di luar negeri. 

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menampik adanya dugaan kartel minyak goreng. Menurutnya, kecil sekali kemungkinan produsen sawit Indonesia bisa mengatur harga  sawit di pasar global. 

Sahat mengatakan, peningkatan harga minyak goreng terjadi karena adanya lonjakan harga acuan minyak kelapa sawit atau CPO di pasar global. 

“Di pasar global, jumlah produsen sawit ada 53 negara, mulai Amerika Latin, Oceania, Asia, dan Afrika. Kami juga menjelaskan bagaimana pengaruh antara minyak  sawit dan 17 jenis minyak nabati dan lemak lain di pasar global,” papar dia. 

Sahat menambahkan, Indonesia menjadi produsen minyak sawit (CPO) dunia dengan produksi tahunan mencapai lebih dari 46 juta ton setiap tahun. 

Baca Juga: KPPU Naikkan Kasus Minyak Goreng ke Tahap Pemberkasan, GIMNI: Tidak Ada Kartel

Meski demikian, Indonesia tak mampu mengendalikan harga ketika terjadi lonjakan harga CPO global yang turut berdampak pada naiknya harga berbagai produk turunannya, salah satunya minyak goreng. 

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) bahkan meyakini bahwa persoalan minyak goreng bukan disebabkan praktik kartel, seperti dugaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). 

Menurut Gapki, kelangkaan stok dan lonjakan harga minyak goreng disebabkan fenomena panic buying. Sehingga, ketika ada stok minyak goreng, warga langsung menyerbu barang pokok tersebut. 

Baca Juga: Dirjen Industri Agro Kemperin, Putu Juli Ardika: Minyak Goreng memang Sulit Diatur

"Kalau saya meyakini tidak ada masalah kartel, tetapi lebih baik KPPU yang membuktikan. Seharusnya masalah minyak goreng sudah teratasi, hanya panic buying," ungkap Sekretaris Jenderal Gapki, Eddy Martono. 

Sebelumnya, KPPU menduga 27 perusahaan melakukan kartel atau penetapan harga minyak goreng secara serempak. KPPU telah menyelidiki kasus dugaan kartel minyak goreng sejak 30 Maret 2022.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×