Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menampik adanya dugaan kartel minyak goreng. Menurutnya, kecil sekali kemungkinan produsen sawit Indonesia bisa mengatur harga sawit di pasar global.
Sahat mengatakan, peningkatan harga minyak goreng terjadi karena adanya lonjakan harga acuan minyak kelapa sawit atau CPO di pasar global.
“Di pasar global, jumlah produsen sawit ada 53 negara, mulai Amerika Latin, Oceania, Asia, dan Afrika. Kami juga menjelaskan bagaimana pengaruh antara minyak sawit dan 17 jenis minyak nabati dan lemak lain di pasar global,” papar dia.
Sahat menambahkan, Indonesia menjadi produsen minyak sawit (CPO) dunia dengan produksi tahunan mencapai lebih dari 46 juta ton setiap tahun.
Baca Juga: KPPU Naikkan Kasus Minyak Goreng ke Tahap Pemberkasan, GIMNI: Tidak Ada Kartel
Meski demikian, Indonesia tak mampu mengendalikan harga ketika terjadi lonjakan harga CPO global yang turut berdampak pada naiknya harga berbagai produk turunannya, salah satunya minyak goreng.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) bahkan meyakini bahwa persoalan minyak goreng bukan disebabkan praktik kartel, seperti dugaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Menurut Gapki, kelangkaan stok dan lonjakan harga minyak goreng disebabkan fenomena panic buying. Sehingga, ketika ada stok minyak goreng, warga langsung menyerbu barang pokok tersebut.
Baca Juga: Dirjen Industri Agro Kemperin, Putu Juli Ardika: Minyak Goreng memang Sulit Diatur
"Kalau saya meyakini tidak ada masalah kartel, tetapi lebih baik KPPU yang membuktikan. Seharusnya masalah minyak goreng sudah teratasi, hanya panic buying," ungkap Sekretaris Jenderal Gapki, Eddy Martono.
Sebelumnya, KPPU menduga 27 perusahaan melakukan kartel atau penetapan harga minyak goreng secara serempak. KPPU telah menyelidiki kasus dugaan kartel minyak goreng sejak 30 Maret 2022.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News