Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas perpajakan dikabarkan dalam beberapa kasus kalah dari wajib pajak (WP) di tingkat pengadilan pajak serta Mahkamah Agung (MA).
Kekalahan tersebut berbuntut restitusi pajak atau pengembalian pajak sebesar Rp 22 triliun. Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo menyampaikan secara teknis pihaknya selalu melakukan pengawasan terlebih dahulu sebelum restitusi atas keputusan hukum itu.
Secara kualitas data yang diajukan WP akan ditinjau di pengadilan pajak dan MA, sehingga hasil yang dikeluarkan objektif. “Kalah di pengadilan, tapi kita menjalankan sebagaimana prosedur, itu hak dan kewajiban WP, monggo kita ngikutin kalau ada yang kurang pas,” ungkap Suryo, kemarin (18/11).
Baca Juga: Restitusi pajak hingga Oktober sebesar Rp 133 triliun, ini penjelasan pemerintah
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan kegagalan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di tingkat hukum perlu menjadi bahan evaluasi dengan mengecek pola kekalahan. Kemudian dari sana otoritas pajak bisa membuat langkah perbaikan selanjutnya dengan meninjau kualitas data yang dimiliki.
“Biasanya sebagian besar sengketa juga karena penafsiran aturan, bukan pembuktian, jadi perlu pedoman dalam standarisasi,” kata Prastowo kepada Kontan.co.id, Senin (18/11).
Berdasarkan data Sekretariat Pengadilan Pajak Kementerian Keuangan jumlah penyelesaian sengketa pajak 2019 mencapai 9.963 kasus dengan kategori mengabulkan sebagian mencapai 1.389 kasus dan mengabulkan seluruhnya sebesar 5.228 kasus.
Restitusi Rp 133 triliun
Adapun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat sepanjang Januari-Oktober 2019 total pengembalian pajak atau restitusi pajak tumbuh 12,4% secara year on year (yoy) atau setara dengan Rp 133 triliun.
Baca Juga: Penerimaan pajak lesu karena restitusi dan penurunan pajak dari tambang
Adapun rincian restitusi pajak berasal dari pemeriksaan sebesar Rp 81 triliun, upaya hukum lewat keputusan pengadilan Rp 22,5 triliun, dan restitusi yang dipercepat sebesar Rp 29 triliun.“Dibulatkan menjadi Rp 133 triliun,” ujar Suryo.
Suryo menyampaikan jika restitusi pajak tidak masuk dalam hitungan maka penerimaan pajak sampai akhir Oktober tumbuh 2,9% yoy. Sementara apabila efek program percepatan restitusi dikecualikan dari perhitungan, penerimaan bruto Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri masih tumbuh 0,97% yoy.
Baca Juga: Penerimaan pajak hanya tumbuh 0,23%, ini penyebabnya
Teranyar pemerintah mengubah peraturan tentang percepatan restitusi bagi pedagang besar farmasi dan distributor alat kesehatan. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.03/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak.
Khusus untuk percepatan restitusi, Kemenkeu mengaku sudah mulai berjalan normal sejak awal Oktober 2019. Namun demikian, Dirjen Pajak menegaskan pada dasarnya restitusi pajak merupakan hak bagi Wajib Pajak (WP) yang diharapkan realisasinya dapat memperbaiki cash flow korporasi penerima fasilitas tersebut.
Baca Juga: Realisasi asumsi makro APBN 2019 hingga Oktober banyak meleset
Suryo menjelaskan secara teknis untuk percepatan restitusi tidak dilakukan pemeriksaan, hanya memverifikasi data yang diberikan. Sebab, insentif itu diperuntukkan bagi dunia usaha yang berorientasi ekspor guna mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.
Sementara restitusi normal yang berasal dari pemeriksaan yang dilakukan setelah DJP memvalidasi data WP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News