Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dinilai sangat sulit untuk diikuti.
Menurut Koordinator Bidang Kajian Strategis Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Alan F Koropitan, peraturan ini memaksa untuk mempertimbangkan aspek teknis sekaligus meningkatkan lingkungan sosial dan ekonomi.
Oleh sebab itu, peraturan ini harus terintegrasi dengan penghitungan teknis tata ruang, baik darat, laut, dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
"Tata ruang kita sangat mahal kajiannya. Tapi, pemerintah harus menyiapkan data ini. Jadi, kalau tata ruang sudah ada, KLHS ada, maka, Analisis mengenai Dampak Lingunan (Amdal) itu tidak perlu generic data dari nol," ujar Alan saat diskusi terkait NCICD di Goethe Institue, Jumat (13/5/2016).
Seperti diketahui, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman telah mengeluarkan moratorium reklamasi Teluk Jakarta.
Selama dihentikan, pengembang diharuskan untuk memenuhi dokumen terkait reklamasi, salah satunya adalah Amdal.
Sementara menurut Alan, jangankan Amdal, KLHS saja saat ini belum jelas. Hal ini merupakan kelalaian dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang sebenarnya bertanggung jawab atas KLHS tersebut.
Alan mengatakan, meski Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya sempat mengklaim KLHS sudah ada, tetapi ia tidak bisa membuktikannya.
"Tata ruangnya, oke memang sudah ditetapkan. Tapi, (tata ruang) lautnya ini yang jadi persoalan. Jadi, sangat sulit mengikuti Pepres 122 tahun 2012," jelas dia. (Penulis: Arimbi Ramadhiani)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News