Reporter: Venny Suryanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Manufacturing Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia turun dari 50,8 di Agustus menjadi 47,2 di September 2020.
Penurunan tersebut menjadi yang pertama sejak bulan April dan menunjukkan aktivitas manufaktur yang melemah di tengah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) karena masih tereskalasinya pandemi Covid-19.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Hubungan Internasional, Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, penurunan PMI yang terjadi akibat pelaku usaha melihat pasar yang masih melemah dalam jangka pendek.
Adapun, penyebab pelemahan dinilai bukan hanya adanya PSBB tetapi juga lemahnya pemulihan kepercayaan dari pasar domestik untuk melakukan konsumsi secara umum.
Baca Juga: Ekonom Indef ingatkan deflasi beruntun bisa jadi tanda-tanda depresi ekonomi
“Ini sebetulnya sudah bisa dilihat dari respons pasar selama pelonggaran PSBB dimana terjadi peningkatan konsumsi tetapi tidak setinggi yang diharapkan, khususnya karena kelas menengahnya juga enggan untuk melakukan pengeluaran non-esensial akibat kondisi Covid-19,” kata Shinta saat dihubungi KONTAN, Kamis (1/10).
Shinta juga proyeksikan, dalam kondisi saat ini tidak banyak yang bisa dilakukan industri manufaktur untuk bisa mendorong indeks PMI ke atas level 50 atau rata-rata di level 50 hingga akhir tahun.
“Kalau PMI dipaksa di atas 50 sementara pasarnya tidak punya confidence untuk membeli, ini berarti memaksakan pelaku usaha manufaktur untuk menanggung kerugian yang lebih besar,” tandasnya.
Shinta juga menyampaikan, untuk meningkatkan kinerja pabrikan dan mendorong meningkatnya manufaktur, ada tiga hal yang harus dilakukan pemerintah.
Baca Juga: Deflasi 3 bulan berturut-turut, pemerintah belum ambil langkah baru
Pertama, tentunya harus ada perbaikan output pengendalian Covid-19, khususnya di kawasan industri dan perkotaan yang umumnya menjadi sentral konsumsi produk manufaktur.
“Ini krusial agar perusahaan atau pabrik tetap produktif dan bisa meningkatkan produktifitas tanpa terkendala PSBB atau isu penyebaran wabah di pabrik yang bisa menyebabkan pabrik ditutup sementara atau tutup total,” tambahnya.
Kedua, harus ada perbaikan dan percepatan distribusi stimulus korporasi. Dimana hingga saat ini masih belum jalan kepada pelaku usaha manufaktur, khususnya manufaktur padat karya. Sebab, stimulus ini membantu agar perusahaan tetap mengupayakan peningkatan produksi tanpa melakukan layoff.
Baca Juga: PMI turun lagi, deflasi Indonesia masih berlanjut
Ketiga, perlu dukungan RUU Cipta Kerja agar segera disahkan segera, supaya investasi dapat masuk ke sektor manufaktur national.
“Dengan demikian sektor manufaktur nasional memiliki lebih banyak modal dan confidence untuk melakukan produksi meskipun pasarnya pemulihan pasarnya belum mengejar economic scale yang terlalu menguntungkan bagi perusahaan dalam jangka pendek,” tutup Shinta.
Selanjutnya: Penyerapan anggaran program PEN capai Rp 304,6 triliun hingga akhir September
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News