kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Jokowi gaungkan benci produk luar negeri, begini cerita di baliknya


Jumat, 05 Maret 2021 / 04:15 WIB
Jokowi gaungkan benci produk luar negeri, begini cerita di baliknya
ILUSTRASI. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengungkapkan cerita dibalik pernyataan presiden yang menggaungkan benci produk luar negeri. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.


Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggaungkan cinta produk dalam negeri dan benci produk luar negeri. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengungkapkan cerita dibalik pernyataan presiden tersebut. 

Diketahui pernyataan tersebut disampaikan Jokowi dalam pidatonya saat membuka Rapat Kerja Kementerian Perdagangan (Kemendag) 2021, Kamis (4/3/2021). 

Menurut Lutfi, alasan mengapa Jokowi mengkampanyekan benci produk luar negeri karena dipicu cerita yang ia bagikan sesaat sebelum acara di mulai, yakni mengenai fenomena UMKM Indonesia yang terdampak produk impor melalui perdagangan digital. 

“Jadi ingin meluruskan bahwa ini adalah laporan saya ketika memohon beliau untuk membuka Rapat Kerja Kemendag dua hari lalu, dan tadi sempat menjadi pembicaraan sebelum masuk ke acara tersebut,” ujarnya dalam konferensi pers Rapat Kerja Kemendag 2021, Kamis (4/3/2021). 

Baca Juga: Galakkan produk lokal lewat mencintainya dan benci produk asing

Dia mengatakan, laporan yang disampaikannya kepada kepala negara adalah mengenai praktik predatory pricing melalui platform e-commerce global. Adapun predatory pricing adalah strategi penjualan dengan mematok harga yang sangat rendah sehingga menarik pembeli, tujuannya untuk menyingkirkan pesaing dari pasar dan mencegah pelaku usaha lain masuk ke pasar yang sama. 

"Jadi harga yang sengaja dibuat untuk membunuh kompetisi. Ini membuat tidak terjadi keadilan atau kesetaraan dalam perdagangan," kata dia. 

Baca Juga: Kemendag akan atur soal diskon di e-commerce

Praktik predatory pricing tersebut, lanjut Lutfi, diperkuat dengan sebuah tulisan yang dikeluarkan oleh lembaga internasional. Tulisan itu mengungkapkan hancurnya UMKM asal Indonesia yang bergerak di bisnis fesyen muslim yaitu penjual kerudung atau hijab akibat praktik predatory pricing yang dilakukan pihak asing. 

Ia menjelaskan, bisnis UMKM penjual hijab tersebut sempat berjaya selama 2016-2018 hingga mampu mempekerjakan 3.400 karyawan. Total gaji yang dibayarkan UMKM pada pekerjanya itu bahkan mencapai US$ 650.000 per tahun. 

Namun pada 2018 ada sebuah perusahaan asing yang menyadap seluruh informasi UMKM tersebut. Kemudian perusahaan yang mencuri data itu membuat produk serupa di China yang kemudian dipasarkan pula ke Indonesia. 

"Jadi ketika kita buka platform e-commerce global tersebut, benar saja, ternyata hijab yang dijual perusahaan itu harganya hanya Rp 1.900 per satu pcs," ungkap Lutfi. 

Kondisi tersebut tentunya mematikan UMKM lantaran harga yang dipatok hijab asal China itu jauh lebih rendah dari hijab produksi dalam negeri. Padahal, kata Lutfi, nilai bea masuk yang dibayarkan perusahaan tersebut dari impor hijab yang dilakukan hanya sebesar US$ 44.000. 

Baca Juga: Hijab Tanah Abang kena predatory pricing, Kemendag siap atur e-commerce Maret ini

"Mereka membayar bea masuk US$ 44.000 tapi menghancurkan industri UMKM tersebut, yang membayar biaya gajinya US$ 650.000 untuk 3.400 orang," ucap dia. 

Lutfi bilang, praktik curang tersebutlah yang dibenci oleh Jokowi sehingga memicu pernyataan benci produk luar negeri. Sebab imbasnya sangat besar kepada pelaku UMKM lokal. 

Baca Juga: Ini strategi Mendag menghadapi dinamika sektor perdagangan

"Inilah yang menyebabkan kebencian produk asing yang diutarakan Presiden karena kejadian perdagangan yang tidak adil, tidak menguntungkan dan tidak bermanfaat," ujarnya. 

Meski demikian, dia menegaskan, bukan berarti Indonesia melakukan proteksionisme. Upaya mendorong kecintaan produk dalam negeri utamanya untuk melindungi UMKM dan membasmi praktik predatory pricing yang mematikan usaha rakyat. 

Ia bilang, Indonesia tidak memiliki sejarah melakukan proteksionisme dan tetap terbuka dengan perdagangan global. Hal itu dibuktikan dengan 25 perjanjian dagang internasional yang dimiliki Indonesia hingga saat ini. 

"Artinya kita ini memang bukan bangsa yang proteksionisme karena kita sadar proteksionisme itu tidak memberikan nilai tambah pada kesejahteraan Indonesia," terang Lutfi.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cerita di Balik Jokowi Gaungkan Benci Produk Luar Negeri"
Penulis : Yohana Artha Uly
Editor : Yoga Sukmana

Selanjutnya: Mendag beberkan strategi menghadapi dinamika sektor perdagangan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×