Reporter: Dani Prasetya | Editor: Edy Can
JAKARTA. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie geram tidak dilibatkan dalam perumusan revisi Undang-Undang MK. Sebab, dia mengatakan dulu terlibat dalam perumusan undang-undang MK.
"Saya tunggu-tunggu ditelepon DPR sampai RUU diresmikan di Baleg (Badan Legislatif) malah tidak ada," ungkap Jimly, usai rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Panitia Kerja (Panja) Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar (P3L), Kamis (16/6).
Jimly bercerita, dirinya dulunya terlibat membuat rancangan undang-undang MK. Bahkan, dia mengaku sudah membuat 15 buku tentang MK. Karena itu, dia menyayangkan mengapa dirinya tidak dilibatkan dalam revisi UU MK tersebut. Selain itu, dia menyayangkan, revisi UU MK itu hanya berdasarkan hasil studi banding saja.
Salah satu keberatan Jimly dalam revisi UU MK adalah soal putusan ultra petita atau putusan yang melebihi permintaan pemohon. Menurutnya, ultra petita itu merupakan hal mutlak dalam hukum perdata dan bukannya pada hukum tata negara.
Sebagai informasi, ketentuan yang melarang putusan ultra petita itu terdapat dalam revisi UU MK pasal 45A yang berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan”. Artinya, MK hanya boleh memutus perkara berdasarkan permohonan yang diajukan oleh pemohon.
Disisi lain, Jimly juga mengkritik penggantinya, Mahfud MD, yang sering mengeluarkan ultra petita. Menurutnya, Mahfud dulu termasuk orang yang sering mengkritik ultra petita.
Lalu soal permasalahan pidana, dia berpendapat, seharusnya bukan MK yang memutus. Namun, seharusnya MK menunda putusan hingga Pengadilan Negeri menghasilkan keputusan. "Jangan dikatakan tidak boleh ultra petita. Itu tanda yang merumuskan enggak ngerti," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News