Reporter: Handoyo | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Keinginan pemerintah Indonesia bergabung dalam kerjasama perdagangan Kemitraan Trans-Pasifik atau Trans Pacific Partnership (TPP) masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus dievaluasi. Setidaknya, menyusun analisis untung-rugi komprehensif jika bergabung.
Analisa tidak hanya melihat potensi perluasan pasar, melainkan juga segala faktor yang berkaitan dengan penerapan standar aturan baru. Pemerintah perlu melakukan identifikasi peraturan perundangan yang harus diubah.
Kondisi ini cenderung bertolak belakang dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, di mana masih banyak aturan-aturan yang berlapis sehingga menghambat swasta. Seperti diketahui, TPP merupakan perjanjian perdagangan bebas yang ambisius, komprehensif dan berstandar tinggi.
"TPP bukan hanya persoalan perdagangan barang, tetapi persoalan lingkungan hidup, perburuhan dan persoalan–persoalan lain yang jadi urusan domestik," kata Direktur Perjanjian Ekososbud Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Abdul Kadir Jailani, Rabu (7/9).
Dalam proses aksesi atau penegasan keterikatan di bawah TPP, Indonesia harus merundingkan syarat dan ketentuan dengan negara anggota lainnya.
Abdul bilang, beberapa beleid harus segera direvisi bila pemerintah memutuskan untuk bergabung dengan TPP.
Aturan yang perlu diubah antara Undang-Undang (UU) tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Hortikultura, UU Sumber daya Air (SDA).
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemkes) Maura Linda Sitanggang mengatakan, industri lokal belum cukup kuat dan tidak memiliki daya saing yang baik, sehingga akan mengalami kesulitan untuk bersaing dengan negara lain mengingat standar yang diterapkan dalam TPP sangat tinggi.
TPP menetapkan aturan nondiskriminasi dan national treatment bagi perusahaan asing sehingga setiap perusahaan dan negara, tidak perduli kapasitasnya dianggap memiliki posisi yang setara, sehingga menguntungkan korporasi manufaktur besar dari negara besar.
"Indonesia akan berhadapan langsung dengan aturan, ketentuan dan syarat yang sudah sesuai kepentingan khusus negara pendiri, serta harus mengikuti pasal TPP dimana salah satu nya jelas-jelas membebaskan segala hambatan dalam perdagangan termasuk memprivatisasi BUMN," kata Maura.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemdag), Tjahya Widayanti mengatakan, kajian TPP sudah mencapai 75% dan saat ini berada di Menko Perekonomian. "Hampir selesai, tapi masih kurang sedikit," kata Tjahya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News