Sumber: Kompas.com | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Sepanjang tahun 2014, pengungkapan kasus narkoba tidak lagi sebatas memorakporandakan jaringan suplai dan produksi sabu-ekstasi, tetapi juga pasar bagi kedua jenis barang haram tersebut. Tanggal 19 Mei, Diskotek Stadium di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat, ditutup setelah 16 tahun berkibar. Penutupan dipicu tewasnya seorang polisi yang diduga over dosis narkoba di tempat hiburan tersebut, Jumat (16/5/2014).
Hari Sabtu (8/11/2014), giliran Polres Metro Jakarta Utara menggerebek Kampung Bahari, Tanjung Priok. Sebanyak 38 orang ditangkap, 300 gram sabu, 500 butir pil ekstasi, dan 2 kilogram ganja disita. Demikian pula 5 senjata api, 25 butir peluru, senapan angin, 40 celurit dan golok, 39 alat isap sabu, 14 timbangan digital, 6 radio panggil, 4 set kamera pemantau, serta 6 sepeda motor dan satu mobil dari empat lokasi di RW 013 dan RW 014, Kelurahan Tanjung Priok.
Berdasarkan catatan polisi, dalam setahun terakhir Kampung Bahari menonjol dalam kasus narkoba. Dari 300 kasus yang terjadi dan ditangani Polres Metro Jakut sejak Januari 2014, sebanyak 75 persen di antaranya melibatkan pelaku atau lokasi di RW 013 dan RW 014, Kelurahan Tanjung Priok.
Di tempat lain, Polres Metro Jakarta Selatan menggerebek kampus Universitas Nasional (Unas) di Jalan Sawo Manila, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Kamis (14/8). Di ruang senat mahasiswa antara lain ditemukan ganja 5 kilogram dan sekantong paket ganja siap edar.
Hari Senin (18/8), Polres Metro Jaksel dan BNN kembali menggeledah Unas dan menemukan 6 kilogram ganja di belakang kampus. Sementara itu, Polres Metro Jakarta Pusat pada Kamis (27/11) menyita 2 kilogram ganja, beberapa gram sabu, dan puluhan butir ekstasi di Kampus Universitas Kristen Indonesia, Salemba, Jakpus. Empat tersangka ditangkap.
BNN mencatat, Jakarta masih menjadi pasar terbesar narkoba. Diukur dari tingkat prevalensi, pencandu di Ibu Kota ini mencapai 7,7 persen dari penduduk produktif atau sekitar 490.000 jiwa. Tingkat prevalensi itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nasional yang hanya 2,2 persen.
Karena itu, sindikat narkoba internasional tidak pernah habis akal menembus Ibu Kota dengan berbagai rute dan modus. Selama 2014, sebanyak 397 sindikat penyelundupan narkoba diungkap BNN pusat dan BNN provinsi, sebagian besar untuk diedarkan di Jakarta dan sekitarnya. Sabu menjadi jenis narkoba yang paling banyak diselundupkan dengan berat total 447,5 kilogram.
Penyelundupan sabu seberat 35 kg dari Iran dengan menggunakan jasa paket dapat diungkap oleh petugas di Kantor Pos Pasar Baru. Sabu itu diselubungi serbuk kimia dan dikemas dalam kardus. Serbuk kimia itu membuat sabu tak terdeteksi sinar-X dan anjing pelacak.
Kepala BNN Anang Iskandar menengarai, bandar narkoba juga mulai menguasai perguruan tinggi sebagai pasar peredaran narkoba. ”Di mana ada generasi muda, di situ akan menjadi lahan subur bagi peredaran narkoba. Pengelola kampus harus mewaspadai itu,” ujarnya.
Melawan polisi
Kriminolog UI, Kisnu Widagso, berpendapat, tidak ada hal baru dengan peredaran narkoba di permukiman, kawasan tempat hiburan malam, dan kampus di Tanah Air. ”Yang berbeda hanya volume peredaran dan jumlah penggunanya,” ucapnya. Peningkatan volume dan jumlah pengguna mulai membengkak pada pertengahan tahun 2000.
Bukan cuma soal volume peredaran dan jumlah penggunanya yang kian mengkhawatirkan, melainkan juga perlawanan para bandar dan warga yang sudah menjadi kaki tangan mereka.
Saat BNN hendak menangkap seorang bandar di Kampung Bahari, seperti pengakuan Sumirat dari Humas BNN, lebih dari 500 warga menghalang-halangi dan mengepung petugas.
Kasat Narkoba Polres Metro Jakbar Ajun Komisaris Besar Gembong Yudha dan 44 anggotanya bahkan tidak hanya dikepung dan dihalang-halangi, tetapi juga dilempari batu dan diancam senjata tajam oleh puluhan warga di Kampung Permata, Cengkareng, Jakbar. Peristiwa itu terjadi pada 29 Juni 2012.
Kehilangan kontrol
Menanggapi soal peredaran narkoba di kampus, Kisnu berpendapat, hal itu bisa terjadi karena kampus kehilangan kontrol sosial. Kontrol sosial itu hilang karena kuatnya citra bahwa kampus pasti steril dari narkoba.
”Kampus, kan, tempat tumbuh mahasiswa yang penuh idealisme. Citra seperti inilah yang membuat pengawasan di lingkungan kampus melemah, bahkan kehilangan kontrol,” ucap Kisnu.
Saat peristiwa terungkap, nyatalah bahwa kampus memang sudah kehilangan kontrol. Dengan mudah ganja didistribusikan mantan mahasiswa yang putus kuliah. ”Biang keladinya, ya, para mahasiswa DO (drop out/putus kuliah) yang dibiarkan bebas beraktivitas lewat organisasi kemahasiswaan. Padahal, mahasiswa DO itu hanya menjadikan organisasi itu sebagai kedok,” kata Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Komisaris Besar Eko Daryanto.
Lalu, bagaimana dengan narkoba yang menyusup ke kawasan permukiman? Jawabannya masih sama, kehilangan kontrol. Apa yang membuat warga kehilangan kontrol? ”Ketidakpedulian warga terhadap lingkungan sosialnya,” ungkap psikolog sosial UI, Prof Hamdi Muluk.
Ketidakpedulian ini bahkan bisa berubah menjadi sikap melawan petugas. Apalagi, jika bisnis gelap narkoba telah menjadi andalan nafkah warga seperti pernah terjadi di Kampung Permata. Di satu masa, lebih dari separuh warga di kampung tersebut mengandalkan hidupnya dari narkoba.
Bayangkan jika pada 2010 penghasilan pengojek di lingkungan lapak sabu di kawasan RW 007, Kedaung Kaliangke, Cengkareng, Jakbar, ini setiap hari mencapai Rp 700.000, sementara pendapatan per bulan para penimbang sabu bahkan sampai Rp 8 juta.
Lalu, bagaimana melawan dan mengakhiri ketidakpedulian warga terhadap lingkungan sosialnya demi membebaskan hidup mereka dari narkoba?
Solusinya, kata Hamdi, menekan permintaan narkoba dengan meningkatkan kegiatan positif warga dan mengurangi stres. Di sisi lain, mengurangi suplai narkoba dengan bermacam operasi. Tampaknya, jalan melawan ketidakpedulian itu menjadi tantangan para pemangku kepentingan pada 2015. (RTS/REY/JAL/BRO/MDN/WIN)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News