Reporter: Nindita Nisditia | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investor bisa memegang Hak Guna Usaha (HGU) selama 190 tahun dalam Undang-Undang (UU) Ibu Kota Nusantara (IKN) terbaru.
Dalam Pasal 16A UU IKN tertuang bahwa jangka waktu HGU paling lama adalah 95 tahun melalui siklus pertama, kemudian dapat diberikan lagi selama 95 tahun pada siklus kedua.
Aturan itu pun dianggap tidak sejalan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang tidak mengenal siklus pemberian HGU.
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Sartika menilai, siklus HGU yang diberikan selama hampir dua abad kepada investor IKN justru bisa menambah carut marut agraria di Kalimantan Timur.
Dewi menyayangkan, UU IKN tidak mengatur persoalan seperti mitigasi dari dampak sosial ekologis, termasuk dampak agraria dan krisis agraria yang akan ditimbulkan apabila siklus 190 tahun HGU benar-benar dijalankan. Tidak terkecuali izin yang diberikan pemerintah kepada investor atas Hak Guna Bangunan (HGB) selama 160 tahun.
Karena itu, Dewi khawatir Pasal 16A akan menambah carut marut agraria. Persoalannya seperti memperparah ketimpangan penguasaan tanah yang memang sudah ada, meningkatkan konflik agraria, bahkan meningkatkan kemiskinan struktural.
“Ini yang diabaikan di UU IKN, sama sekali tidak berbicara soal bagaimana mitigasi risiko konflik agraria, mitigasi dampak, soal kerusakan lingkungan, dan seterusnya,” ujar Dewi kepada Kontan.co.id, Senin (09/10).
Baca Juga: Masuk Dalam RPJPN 2025-2045, Pembangunan IKN Dipastikan Berlanjut
Dewi bilang, IKN memerlukan tanah seluas hampir mencapai 250 ribu Ha, baik untuk zona inti maupun zona pengembangan. Namun, UU IKN nampaknya masih mengabaikan situasi agraria di lapangan.
“Seolah-olah kandang timur terutama di Penajam Paser Utara dan kota-kota negara itu tanah kosong. Padahal tidak, realitas di lapangan itu ada masyarakat adat, ada masyarakat lokal. Kemudian sudah ada timbul problem struktural lainnya, sudah ada konsesi-konsesi sawit, sudah ada bisnis-bisnis tambang, dan sudah ada klim-klim kawasan hutan juga,” tekannya.
Dewi menuding, motif dari lahirnya HGU bukanlah soal kebutuhan dan kepentingan membangun istana, kantor-kantor kementerian dan lembaga, melainkan bisnis perkebunan berkedok pembangunan ibu kota di IKN.
“Kelihatan sekali karena tadi memberikan konsesi kepada para pemodal, investor yang bergerak di bisnis perkebunan,” ucapnya.
Sampai saat ini, KPA menolak UU IKN itu. Serta, menolak apabila pembangunan proyek IKN itu dijalankan tanpa berjalannya reforma agraria terlebih dahulu.
Reforma agraria, menurut Dewi, menjadi bentuk nyata untuk mengakui hak-hak masyarakat yang sudah secara de facto menguasai tanah, tidak hanya di penajam pasar dan kota itu ke luar negara, tapi di seluruh Kalimantan Timur.
Pendaftaran tanah sistematis secara lengkap yang sekarang sedang dijalankan ATR-BPN menurutnya belum menyeluruh dan masih bersifat diskriminatif karena mengeksklusi wilayah-wilayah yang dianggap statusnya dalam konflik agraria, masih tumpang tindih dengan konsensi-konsensi.
“Kalau reforma agraria itu tidak dijalankan terlebih dahulu di Kalimantan Timur, dan secara khusus di dua kabupaten yang menjadi target IKN, maka KPA akan tetap menolak proyek pembangunan itu,”
Dewi menegaskan, apabila reforma agraria tidak dapat diimplementasikan, maka ketimpangan akan semakin parah. Adapun konflik agraria menurut Dewi juga semakin meningkat, tidak tertinggal juga kemiskinan struktural bagi masyarakat adat, petani, masyarakat lokal, dan masyarakat miskin yang selama ini akses dan hak atas tanahnya belum juga diakui.
Baca Juga: KPA Tuding Revisi UU IKN Melanggar Konstitusi dan UU Pokok Agraria
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News