Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19), Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tetap menjalankan reformasi pajak. Tujuannya untuk mengairahkan investasi, peningkatan kepatuhan hukum wajib pajak, hingga perluasan basis pajak.
Reformasi pajak 2020 tertuang dalam dua beleid. Pertama, Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 yang merupakan aturan palaksana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 sebagai respon pemerintah menanggulangi dampak ekonomi dan keuangan akibat pandemi. Kedua, UU Cipta Kerja.
Kedua beleid itu, mengelaborasi peraturan perpajakan dalam rencana pemerintah sebelumnya lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Perpajakan yang dicanangkan pada akhir tahun lalu. Dengan alasan pandemi, maka pemerintah mempercepat implementasi reformasi perpajakan.
Di dalam UU Nomor 2 Tahun 2020, pemerintah memberikan relaksasi penurunan pajak penghasilan (PPh) Badan dari 25% menjadi 22% untuk tahun pajak 2020 dan 2021. Kemudian menjadi 20% mulai tahun 2022. Untuk perusahaan yang memperdagangkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) ada ekstra diskon 3%.
Relaksasi dalam rangka meningkatkan investasi juga diperkuat dengan pembebasan PPh atas dividen. UU Cipta Kerja mengatur pecualian PPh atas dividen berlaku bagi wajib pajak orang pribadi (WP OP) dan WP Badan dalam negeri sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) minimal 30%.
Baca Juga: Restitusi pajak tumbuh Rp 19,6 triliun, ini kata CITA
“Ini mendorong, memberikan support kepada para pemilik dana agar produktif atas produk investasi dalam negeri. Jadi melalui UU Cipta Kerja ini, kemudahan berusaha diberikan, kemudian dananya (dividen) diberikan insentif, kalau mengganggur dia kena pajak. Sehingga dana-dana bisa jadi lebih produktif,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu.
Selain itu, UU Cipta Kerja pun mengatur tarif PPh Pasal 26 atas bunga dari dalam negeri yang diterima SPLN dapat diturunkan lebih rendah dari 20%. Lalu, pengaturan ulang pengecualian barang kena pajak (BKP) dalam hal pengalihan BKP untuk tujuan setoran modal pengganti saham.
Di sisi lain, UU Cipta Kerja pun mendorong kepatuhan wajin pajak dengan memberi relaksasi hak pengkreditan pajak masukan, pengaturan sanksi administrasi bunga serta sanksi pengungkapan ketidakbenaran perbuatan.
Dalam hal peningkatan kepaturan hukum, UU Cipta Kerja mengatur penentuan Subjek Pajak Orang Pribadi (SPOP) baik Warga Negara Asing (WNA) dan Warga Negara Indonesia (WNI) berdasarkan waktu keberadaan orang tersebut.
Selanjutnya, penyerahan batubara termasuk BKP, konsinyasi bukan termasuk penyerahan BKP, non objek PPh atas sisa lebih dana badan sosial dan badan keagamaan, pidana pajak yang telah diputus tidak lagi diterbitkan, serta penerbitan SPT daluarsa lima tahun dan penerbitan SPT utk menagih imbalan bunga.
Lalu, dalam hal keadilan berusaha UU Cipta Kerja menentukan bahwa pencantuman Nomor Induk Kependudukan (NIK) pembeli yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) diperbolehkan.
Sementara itu, dari sisi perluasan basis pajak, upaya pemerintah terlihat dalam UU Nomoro 2 tahun 2020. Beleid itu mengatur lebih lanjut soal perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) dengan merubah skema pajak internasional yakni physical presence menjadi significant economic presence. Sehingga, selama subjek pajak luar negeri (SPLN) mengambil manfaat ekonomi di Indonesia harus menjalankan kewajiban perpajakannya di Indonesia.
Dalam hal ini, pemerintah memutuskan menunjuk perusahaan digital asing untuk memungut, menyetor, dan melapor pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% dari nilai transaksi setiap konsumennya. Kriterianya, penjualan SPLN di Indonesia lebih dari Rp 600 juta per tahun, atau Rp 50 juta per bulan.
Sejak Juli lalu sampai dengan saat ini, sudah ada 36 perusahaan digital asing yang ditunjuk oleh Ditjen Pajak. Hasilnya, dalam satu bulan massa pajak, otoritas pajak sudah mengumpulkan Rp 97 miliar.
Penerimaan pajak tersebut berasal dari enam SPLN gelombang pertama antara lain Netflix Pte. Ltd., Amazon Web Service Inc., Google Asia Pasific Pte. Ltd., Google Ireland Ltd., Google LLC., dan Spotify AB.
Kendati demikian, Anggota Komisi XI Mukhammad Misbakhun berharap, pemerintah harus berani menarik pajak penghasilan perusahaan digital asing. Mengingat, Indonesia merupakan market yang besar, dan sudah sejak lama perusahaan digital asing mengambil manfaat ekonomi atas konsumsi digital masyarakat Indonesia.
“Jangan takut dengan Amerika Serikat (AS), dalam situasi pandemi seperti ini justru kita punya alasan menarik pajak penghasilan perusahaan digital karena untuk penerimaan. Kalau tidak dimulai sekarang kapan lagi,” kata Misbakhun kepada Kontan.co.id, beberapa waktu lalu.
Selanjutnya: Sri Mulyani: Perekonomian kuartal III-2020 menunjukan pemulihan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News