Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Syamsul Azhar
KONTAN.CO.ID - Pengesahan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja menjadi Undang-undang (UU) Cipta Kerja oleh DPR dan pemerintah terus menuai kontroversi.
Salah satu poin kontroverisal di UU Cipta Kerja adalah mengenai pengaturan pesangon bagi kaum buruh atau karyawan yang sangat merugikan bagi buruh.
Menurut Nabiyla Risfa Izzati, pengajar Hukum Ketenagakerjaan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, UU Cipta Kerja ini menghapuskan perlindungan kepada tenaga kerja.
Salah satu poin di UU Cipta Kerja pada bab yang membahas ketenagakerjaan diantaranya adalah perubahan pasal 156 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal ini mengatur kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan pesangon kepada buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Pada UU No 13/2003 mewajibkan pengusaha untuk membayar pesangon dan penghargaan massa kerja bagi buruh PHK dengan jumlah paling sedikit.
Pada UU Cipta Kerja frasa di Pasal 156 ini diubah menjadi ketentuan paling banyak. "Ini fraksa paling aneh di UU Ketenagakerjaan," katanya saat konfrensi pers daring Selasa (6/10).
Seharusnya dalam sebuah UU Ketenagakerjaan menjadi perlindungan minimum bagi para buruh atau pekerja. Sebab buruh atau pekerja biasanya menjadi pihak yang lebih lemah dalam hubungan industrial ketenagakerjaan.
"Jika yang diatur dalam UU Cipta Kerja adalah ketentuan maksimal, artinya pengusaha bisa memberikan pesangon jauh di bawah ketentuan yang ada. Ini salah satu contoh kekeliruann pengaturan yang perlu di kritisi di UU Cipta kerja," kata Nabila.
Sebagai catatan penafsiran lain yang bisa diberikan terhadap fraksa ini adalah pengusaha bisa saja dianggap melanggar hukum atau UU Cipta Kerja, apabila memberikan pesangon lebih besar dari batasan paling banyak yang diatur di UU tersebut.
Selain itu Nabila juga melihat banyak perubahan di UU Ketenagakerjaan yang sifatnya mendasar dan signifikan. Misalnya adanya perjanjian kerja, bagi Perjanjian Kerja dengan Waktu Tertentu (PKWT) batas waktunya menjadi tidak diatur, tapi dikembalikan kepada para pihak yakni buruh dan pengusaha atau pemberi kerja.
Hanya saja Nabila belum bisa mengritisi lebih dalam mengenai UU Cipta Kerja ini. UGM akan kembali membuat catatan kritis setelah UU ini resmi diundangkan oleh Presiden Joko Widodo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News