kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini yang diubah pemerintah dalam revisi KUP


Selasa, 23 Mei 2017 / 22:13 WIB
Ini yang diubah pemerintah dalam revisi KUP


Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Tak hanya memisahkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dari Kementerian Keuangan, pemerintah melalui Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) juga melakukan perubahan dari sisi definisi, penyelesaian sengketa, hingga penegakan hukum.

Dalam draft RUU tersebut, pemerintah mengubah sejumlah definisi. Pertama, mengubah istilah wajib pajak menjadi pembayar pajak, yaitu orang pribadi atau badan, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sendiri, dan atau sebagai pemotong dan atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Kedua, mengubah istilah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menjadi Nomor Identitas Pembayar Pajak (NIPP), yaitu nomor yang diberikan kepada pembayar pajak sebagai sarana pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas pembayar pajak.

Ketiga, pemerintah juga mengubah istilah sanksi hanya menjadi sanksi administratif, dari UU saat ini berupa sanksi administrasi, sanksi bunga, dan denda kenaikan.

Tak hanya itu, pemerintah juga mengubah definisi pajak, pembukuan, kerugian negara serta menghilangkan istilah penelitian dan menggantinya menjadi penilaian.

Dari sisi penyelesaian sengketa, Pasal 68 RUU tersebut, diatur bahwa pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

Dari sisi penegakan hukum, pemerintah memperberat sanksi administratif keterlambatan pelaporan surat pemberitahuan (SPT) masa lainnya menjadi denda sebesar Rp 500.000. Sementara dalam UU KUP yang berlaku saat ini, denda atas keterlambatan pelaporan SPT masa lainnya hanya Rp 100.000.

Masih dari sisi penegakan hukum, sanksi pemeriksaan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dibedakan antara yang terlambat bayar dan kurang bayar dan diturunkan sebagai penyesuaian dengan perkembangan zaman serta menegaskan fungsi sanksi sebagai pendorong kepatuhan, bukan hukuman.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, beberapa perubahan signifikan dalam RUU tersebut layak diapresiasi. Meski demikian, masih ada sejumlah yang perlu menjadi perhatian pemerintah.

Pertama, RUU tersebut belum selaras dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Sebab, akses data ke perbankan masih berdasarkan permintaan dan bukan secara otomatis.

Selain itu, diperlukan penegasan sistem kesadaran pembayar pajak (self-assessment) melalui perlakuan setara semua pembayar pajak di hadapan hukum. Kemudian, diperlukan jaminan kemudahan dan kepastian hukum bagi wajib pajak dalam menjalankan haknya.

"Koordinasi Ditjen Pajak dan institusi penegak hukum lainnya perlu dipertegas dan diperjelas," kata Prastowo, Selasa (22/5).

Di sisi lain, ada hal yang baru yang diatur dalam RUU tersebut, yaitu mengenai partisipasi masyarakat. Meski demikian, peran masyarakat masih terbatas pada pencegahan dan penindakan pelanggaran perpajakan.

"Peran serta harus menyentuh dimensi terdalam pajak dan lebih partisipatif, termasuk membentuk asosiasi pembayar pajak, hak untuk terlibat dalam monitoring, mendapatkan informasi atau keterangan, hak untuk terlibat dalam pengawasan kontraprestasi," tambah dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×