Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) terus mengkaji rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta. Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro memastikan, pemindahan tersebut akan dilakukan ke luar Pulau Jawa.
Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi menyambut baik ide tersebut. Menurutnya, rencana itu bisa berjalan sebagai proyek jangka panjang secara bertahap.
Eric juga bilang, dengan sistem teknologi informasi yang telah berkembang, akan memudahkan pemerintah menerapkan sistem pemerintahan berbasis elektronik (e-government).
"Sistem perizinan dan pengurusan dokumen juga bisa online. Yang jelas rencana ini mesti matang dan jangan malah bikin masalah baru ke pengelolaan defisit APBN," kata Eric kepada KONTAN, Rabu (5/7). Yang terpenting lanjutnya, pemerintah harus mendapatkan persetujuan DPR terkait anggaran itu.
Eric mengatakan, hal positif yang didapat jika rencana tersebut benar-benar direalisasikan, yaitu bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di luar Jawa dan pemerataan pembangunan antardaerah. Menurutnya, proses penyiapan gedung-gedung dan infrastruktur baru di kota baru akan dorong pertumbuhan ekonomi di lokasi baru tersebut serta daerah-daerah sekitarnya
"Jika pemindahan sudah selesai, kota dan propinsi tersebut akan jadi pusat pertumbuhan baru," kata Eric.
Lebih lanjut menurutnya, dampak positif lainnya adalah dari sisi pertahanan. Sebab, pertahanan Indonesia masih cenderung terpusat di Pulau Jawa. Tak hanya itu, pemindahan ibu kota juga akan meringankan beban Jakarta dari sisi sosial ekonomi.
Meski demikian, Eric juga melihat adanya dampak negatif yang ditimbulkan dari rencana ini. Pemindahan ibu kota kata Eric, berisiko membebani APBN.
Selain itu, ada pula risiko gangguan operasional kegiatan pemerintahan jika proses pemindahannya tidak lancar. Misalnya, tidak semua dokumen sudah tersimpan secara elektronik.
Eric juga melihat, pemindahan ibu kota bisa mengganggu pelayanan pemerintah terhadap swasta lantaran swasta juga kemungkinan harus memiliki cabang untuk berurusan dengan pemerintah di ibu kota baru.
"Dan ada risiko kerusakan lingkungan dan gejolak sosial budaya di ibu kota baru. Misalnya di Kalimantan, budaya penduduk lokalnya berbeda dengan Jakarta," tambah dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News