CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.527.000   14.000   0,93%
  • USD/IDR 15.675   65,00   0,41%
  • IDX 7.287   43,33   0,60%
  • KOMPAS100 1.121   3,73   0,33%
  • LQ45 884   -2,86   -0,32%
  • ISSI 222   1,85   0,84%
  • IDX30 455   -2,30   -0,50%
  • IDXHIDIV20 549   -4,66   -0,84%
  • IDX80 128   0,06   0,05%
  • IDXV30 138   -1,30   -0,94%
  • IDXQ30 152   -0,90   -0,59%

Ini tiga rekomendasi Core Indonesia untuk pembiayaan defisit anggaran


Kamis, 09 April 2020 / 12:44 WIB
Ini tiga rekomendasi Core Indonesia untuk pembiayaan defisit anggaran
ILUSTRASI. Obligasi


Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah memutuskan untuk menambah stimulus dalam menanggulangi dampak negatif dari penyebaran wabah virus Corona (Covid-19). Sebagai konsekuensinya, tambahan stimulus ini berdampak pada pembengkakan defisit anggaran pemerintah.

"Sayangnya, tambahan belanja ini diproyeksikan tidak bisa diimbangi oleh kenaikan penerimaan negara pada akhir tahun nanti. Pertumbuhan penerimaan negara akan jauh menurun dibandingkan tahun lalu," ujar Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah Redjalam melalui keterangan tertulis, Kamis (9/4).

Penurunan penerimaan negara ini, akan disebabkan oleh dua faktor utama. Dari luar negeri, harga sejumlah komoditas mengalami penurunan imbas dari melambatnya permintaan global, termasuk harga minyak mentah yang anjlok di bawah US$25.

Baca Juga: Core Indonesia: Ada empat risiko pelebaran defisit APBN dan pembiayaannya

Selain karena melemahnya permintaan global, ini juga dipicu oleh gagalnya kesepakatan negara-negara produsen khususnya Arab Saudi dan Rusia untuk memangkas produksi minyak.

Lalu, dari dalam negeri, terjadi pelemahan permintaan domestik yang berdampak pada melambatnya aktivitas pada sektor-sektor penyumbang penerimaan negara.

"Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang sudah menunjukkan kontraksi sejak pertengahan tahun lalu, pada Maret 2020 bahkan anjlok lebih dalam hingga ke level 45. Melambatnya sektor manufaktur akan berdampak pada penerimaan perpajakan, karena sektor ini menyumbang sekitar 30% dari total penerimaan pajak," paparnya.

Kombinasi kedua faktor ini kemudian diprediksikan akan menekan penerimaan negara sampai dengan akhir tahun nanti. Secara khusus, Core memprediksi penerimaan perpajakan dalam arti luas akan berada di kisaran Rp 1.452 triliun - Rp 1.514 triliun.

Jauh lebih rendah dibandingkan dengan realisasi tahun lalu yang mencapai Rp 1.462 triliun. Kondisi ini juga akan mendorong pelebaran defisit anggaran yang diproyeksikan akan mencapai Rp 852 triliun atau setara dengan 5,07% terhadap PDB.

Untuk itu, Core Indonesia secara khusus merekomendasikan tiga hal untuk pembiayaan defisit fiskal pemerintah.

Pertama, pemerintah hendaknya mendahulukan penerbitan surat utang atau SUN domestik berdenominasi rupiah dengan mengutamakan skema pembelian oleh Bank Indonesia (BI).

"Sentimen pasar keuangan global saat ini masih sangat negatif akibat ketidakpastian yang dipicu oleh pandemi Covid-19. Artinya, minat pembeli sangat rendah. Penerbitan SUN global di tengah kondisi ini akan memaksa pemerintah meningkatkan insentif berupa bunga kupon yang lebih tinggi dan atau tenor yang sangat panjang," ujar Ekonom Core Yusuf Rendy Manilet.

Menurut Yusuf, hal ini terbukti dengan diterbitkannya SUN global bertenor 50 tahun baru-baru ini. Padahal, penerbitan SUN domestik dengan pola pembelian oleh BI memungkinkan pemerintah untuk menetapkan suku bunga atau kupon SUN yang lebih rendah dengan tenor yang wajar.

Kedua, meskipun rupiah dalam tekanan pelemahan akibat ketidakpastian pasar keuangan global, Yusuf menilai pemerintah tidak perlu terburu-buru untuk menambah suplai dolar dengan menerbitkan SUN global.

Baca Juga: Postur APBN 2020 berubah, belanja pemerintah pusat turun Rp 87,5 triliun

Pasalnya, posisi cadangan devisa (cadev) saat ini relatif masih cukup besar untuk membiayai intervensi BI dalam rangka stabilisasi nilai tukar.

"Selain cadev, BI juga memiliki second line of defense berupa fasilitas pinjaman IMF, perjanjian kerja sama swap arrangements dengan beberapa bank sentral, serta yang terakhir fasilitas Repo Line dari The Fed," ungkap Yusuf.

Ketiga, meskipun penerbitan SUN global dibutuhkan karena Indonesia disinyalir mengalami kekurangan dolar akibat menurunnya ekspor, tetapi penerbitan SUN Global seharusnya dapat dilakukan ketika wabah Covid-19 sudah mereda dan sentimen pasar mulai pulih.

"Di tengah kebijakan moneter global yang cenderung menurunkan suku bunga, maka penerbitan SUN global berpotensi mendapatkan permintaan yang tinggi pada bunga kupon yang lebih baik, serta dengan tenor yang wajar," kata Yusuf.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×