Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keluarga korban kecelakaan Sriwijaya SJ 182 yang terjadi pada tanggal 9 Januari 2021 diduga sedang ditekan dan didekati untuk menandatangani pembebasan pertanggungjawaban asuransi terlalu cepat.
Hal itu diungkapkan Sanjiv N. Singh, Professional Law Corporation (SNS), dan Indrajana Law Group, Professional Law Corporation (ILG). Sanjiv merupakan kuasa hukum dari 16 keluarga yang melakukan gugatan terhadap Boeing atas kecelakaan Lion Air JT61-0 di tahun 2018.
Menurut Sanjiv, praktik permintaan pembebasan pertanggungjawaban asuransi serupa juga pernah dialami oleh korban kecelakaan Lion Air JT61-0.
“Kami akan sangat terkejut jika ini terjadi lagi, hanya saja kali ini kami ingin mengumumkan kepada publik untuk melindungi keluarga SJ 182 ini dari perilaku para predator tersebut,” kata Sanjiv dalam keterangannya Kamis (4/2).
Baca Juga: Alasan KNKT mengaku sulit mencari kotak hitam CVR Sriwijaya Air SJ 182
Ia mengatakan akan menghubungi Kementerian Kehakiman AS dan anggota Kongres AS untuk menanyakan apakah ada perusahaan asuransi asal AS yang berpartisipasi dalam perangkap yang menyasar para keluarga korban dengan pembebastugasan asuransi lebih awal.
“Kami telah menjelaskan perilaku ini setelah Lion Air, dan berulang kali mencoba memblokir perilaku predator. Kali ini kami berhasil mendeteksi kemungkinan praktik tidak terpuji ini secara dini. Kami berharap masyarakat sudah lebih aware tentang praktik predator ini. Tidak seorang pun boleh menandatangani pembebastugasan atau penyelesaian klaim apa pun di saat penyebab kecelakaan masih dalam penyelidikan awal," jelasnya.
Michael Indrajana, pengacara Amerika AS keturunan Indonesia yang menghabiskan tujuh bulan di Indonesia menyelidiki kecelakaan Lion Air, mengatakan bahwa praktik pembebastugasan asuransi tidak dapat diterima dan tidak boleh ditoleransi.
“Ombudsman RI telah merilis laporan pada November 2020 yang dengan jelas menyatakan bahwa pembebastugasan ini tidak dapat diberlakukan berdasarkan Peraturan Kementerian Perhubungan Indonesia No. 77 Tahun 2011,” kata Michael.
Hal senada dikatakan Susanti Agustina, SH, MH, seorang litigator Indonesia yang memiliki pengalaman kerja di litigasi Boeing yang bekerja dengan Singh dan Indrajana di Khan v. Perusahaan Boeing, dkk., pada kasus No. 20-cv- 05773.
Menurutnya, satu bulan pasca kecelakaan ini adalah momen paling rentan bagi keluarga korban di mana akan banyak pihak yang mencoba memanipulasi. Oleh karena itu keluarga-keluarga korban ini membutuhkan perlindungan.
“Misi saya adalah untuk memastikan bahwa keluarga yang menandatangani pembebastugasan dilindungi, dan keluarga yang belum menandatangani mendapatkan perlindungan hukum dan nasihat yang mereka butuhkan sebelum membuat keputusan,” katanya.
Baca Juga: Buntut kecelakaan Sriwijaya Air, keluarga korban menggugat Boeing Co di AS
Rini Soegiyono, yang kehilangan saudara perempuan dan ipar dalam kecelakaan Lion Air JT610 tahun 2018, yang diwakili oleh Singh dan Indrajana, mengakui bahwa pasca kecelakaan terjadi ada pengacara dari perusahaan asuransi yang mendekati. Namun ia menolak menandatangani pembebasan asuransi tersebut.
“Untungnya kami menolak mereka, mereka agresif, dan itu sangat membingungkan kami terutama saat kami masih berduka,” katanya.
Ia mengaku merasa lega karena tidak menandatangani pembebasan tersebut, terutama jika hal itu akan merugikan hak-hak penggugat di bawah umur.
Termasuk anak perempuan saudara perempuan Rini yang kini menjadi yatim-piatu karena orang tuanya menjadi korban kecelakaan. “Saya terkejut ketika mengetahui bahwa mereka sampai hati melakukan ini padahal kecelakaan itu baru saja terjadi," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News