Reporter: Indra Khairuman | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah menetapkan target rasio pendapatan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026 secara hati-hati di tengah tantangan ekonomi global dan domestik.
Kebijakan ini mencerminkan kewaspadaan fiskal, terutama dengan mempertimbangkan perlambatan penerimaan negara, ketergantungan pada komoditas, serta kebutuhan reformasi struktural seperti penguatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan perbaikan iklim investasi.
Baca Juga: KEM-PPKF 2026: Pengumpulan Pendapatan Negara Tak Seagresif Tahun Ini
Banjaran Surya Indrastomo, Chief Economist Bank Syariah Indonesia (BSI) menilai, langkah pemerintah menetapkan target rasio pendapatan tersebut dilakukan secara prudent, dengan mempertimbangkan berbagai dinamika ekonomi yang sedang berlangsung.
“Pemerintah menetapkan rasio pendapatan secara hati-hati, mempertimbangkan dinamika ekonomi global dan domestik,” ujar Banjaran kepada Kontan.co.id, Rabu (21/5).
Ia menyebutkan bahwa ketidakpastian ekonomi, fragmentasi perdagangan, dan ketegangan geopolitik yang memicu volatilitas pasar menjadi faktor utama di balik kehati-hatian pemerintah.
Meski begitu, Banjaran menyebut masih ada ruang untuk penyesuaian ke depan.
“Kendati demikian, terdapat ruang untuk penyesuaian rasio pada kesempatan berikutnya, baik melalui pemutakhiran KEM-PPKF 2026 maupun dalam penyusunan RAPBN 2026, seiring dengan evaluasi kondisi ekonomi pasca semester I-2025,” jelasnya.
Baca Juga: KEM-PPKF 2026 Dirilis, Ini Catatan Ekonom soal Target Ambisius Pemerintah
Penurunan Target PNBP Jadi Sorotan
Banjaran mencermati bahwa salah satu komponen pendapatan yang mengalami penurunan target dalam KEM-PPKF 2026 adalah PNBP.
Ia menilai hal ini menunjukkan masih kuatnya ketergantungan terhadap fluktuasi harga komoditas dan tren produksi nasional.
“Salah satu komponen yang mengalami penurunan target adalah PNBP, yang masih sangat bergantung pada harga komoditas dan tren produksi,” ujarnya.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya penguatan sinergi sektor unggulan dari hulu ke hilir guna mendukung stabilitas dan pertumbuhan PNBP.
Sebagai contoh, Banjaran menyoroti kebijakan penyesuaian royalti emas sebagai langkah konkret memperluas basis penerimaan negara.
“Penyesuaian royalti emas menjadi contoh konkret untuk memperluas basis penerimaan negara, sejalan dengan pengembangan ekosistem emas domestik, termasuk pemurnian dan bullion bank,” terangnya.
Langkah ini, menurutnya, menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang baik tidak hanya berorientasi pada penerimaan semata, tetapi juga pada pembangunan ekosistem ekonomi yang berkelanjutan.
Baca Juga: Pemerintah Serahkan KEM-PPKF 2026 ke DPR Besok, Jadi Dasar Awal Pembahasan APBN 2026
Kenaikan Royalti Minerba dan Iklim Investasi
Banjaran juga mengomentari rencana kenaikan tarif royalti sektor mineral dan batu bara (minerba) secara progresif dari 10% menjadi 14%-19%.
“Rencana kenaikan tarif royalti minerba mencerminkan arah fiskal yang proaktif. Namun, kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran dari sektor industri,” tegasnya.
Ia menyarankan agar kebijakan tersebut dilengkapi dengan ruang dialog antara pemerintah dan pelaku usaha, sehingga implementasinya dapat dilakukan secara seimbang dan tidak kontraproduktif.
Di sisi lain, Banjaran menegaskan bahwa iklim investasi juga perlu dibenahi untuk menjaga keberlanjutan fiskal ke depan.
“Perbaikan iklim investasi menjadi krusial, khususnya dalam mendukung proyek infrastruktur melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU),” jelasnya.
Selain itu, optimalisasi dividen BUMN juga dinilai memiliki peran strategis dalam memperkuat PNBP.
“Optimalisasi dividen BUMN yang akan dikelola dengan tata kelola yang baik juga berpotensi meningkatkan kontribusi PNBP secara berkelanjutan,” pungkas Banjaran.
Selanjutnya: Hujan di Tangerang, Ini Prakiraan Cuaca Besok (23/5) di Banten Selengkapnya
Menarik Dibaca: Hujan di Tangerang, Ini Prakiraan Cuaca Besok (23/5) di Banten Selengkapnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News