kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.200   0,00   0,00%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Ini komentar anggota DPR soal RUU KUP


Kamis, 25 Mei 2017 / 10:40 WIB
Ini komentar anggota DPR soal RUU KUP


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan komentar terkait rencana pembahasan Revisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang bakal bakal menjadikan pegawai pajak lebih gahar.

Ketua Komisi XI DPR Melchias Markus Mekeng mengatakan, Ditjen Pajak harus tetap menggunakan sistem pemeriksaan self assessment dengan makin gaharnya fiskus apabila RUU KUP telah direvisi. Terlebih, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2017 tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.

Official assessment ngeri itu. Self assessment sebenarnya bagus apalagi sekarang semua data sudah tebuka. Akan repot apabila official assessment. Objek pajak, tarif itu kan fiskus yang tentukan,” ujarnya kepada KONTAN, Rabu (24/5)

Anggota Komisi XI Misbakhun juga berpendapat, Ditjen Pajak harus disiplin dengan sistem self assessment. Makanya, perlu diatur dalam RUU KUP nanti terkait spesifikasi proses-proses pemeriksaan kemudian proses penyidikan.

“Aturan-aturan harus memberi kekuatan ke Ditjen Pajak, tetapi juga mementingkan hak dari wajib pajak,” kata dia.

Ia melanjutkan, pembahasan dari RUU KUP nanti sebenarnya bisa dilakukan secara cepat oleh DPR. Namun, hal ini tentu tergantung dengan bagaimana pemerintah melakukan lobi.

“Tetapi memang harus cepat. Ini kebutuhan negara kok bukan kebutuhan siapa-siapa,” ucapnya.

Asal tahu saja, berdasarkan draft RUU KUP terakhir yang didapat KONTAN, pemerintah mengubah sejumlah definisi. Pertama, mengubah istilah wajib pajak menjadi pembayar pajak, yaitu orang pribadi atau badan, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan.

Kedua, mengubah istilah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menjadi Nomor Identitas Pembayar Pajak (NIPP). Ketiga, mengubah istilah sanksi menjadi sanksi administratif. Di UU sebelumnya disebutkan ada sanksi administrasi, sanksi bunga, dan denda kenaikan.

Keempat, pemerintah juga memasukkan pasal soal kerugian negara. Kurang bayar pajak dianggap sebagai kerugian negara. Kelima, jika pembayar pajak bersengketa dengan kantor pajak, tidak ada lagi penundaan kewajiban pembayaran pajak. Pasal 68 RUU KUP bilang, pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan penagihan pajak.

Keenam, pemerintah memperberat sanksi administratif keterlambatan pelaporan surat pemberitahuan (SPT) masa lainnya menjadi denda sebesar Rp 500.000. Sementara dalam UU KUP yang berlaku saat ini, denda atas keterlambatan pelaporan SPT masa lainnya hanya Rp 100.000.

Ketujuh, dari sisi penegakan hukum, sanksi pemeriksaan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dibedakan antara terlambat bayar dan kurang bayar. RUU juga menegaskan fungsi sanksi adalah sebagai pendorong kepatuhan, bukan hukuman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×