kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.526.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.240   -40,00   -0,25%
  • IDX 7.037   -29,18   -0,41%
  • KOMPAS100 1.050   -5,14   -0,49%
  • LQ45 825   -5,35   -0,64%
  • ISSI 214   -0,85   -0,40%
  • IDX30 423   -1,15   -0,27%
  • IDXHIDIV20 514   0,87   0,17%
  • IDX80 120   -0,69   -0,57%
  • IDXV30 125   1,36   1,09%
  • IDXQ30 142   0,26   0,18%

Ini kata KSPI soal omnibus law cipta lapangan kerja


Senin, 30 Desember 2019 / 12:22 WIB
Ini kata KSPI soal omnibus law cipta lapangan kerja
ILUSTRASI. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.


Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, Omnibus Law bukan cara terbaik untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja.

"Sebaliknya, omnibus law merupakan cara terbaik untuk menghancurkan kesejahteraan para pekerja," kata Said, dalam keterangan tertulisnya, Senin (30/12)

Said mencatat, berdasarkan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Ketenagakerjaan, setidaknya ada lima hal mendasar yang disasar omnibus law.

Pertama, menghilangkan upah minimum. Hal ini terlihat, dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam. Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum.

Belum lagi ketika pekerja sakit, menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, cuti melahirkan; maka upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu dianggap tidak bekerja.

"Memang, ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja yang bekerja 40 jam seminggu akan mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam," ujar Said.

Baca Juga: KSPI: Jika sistem upah per jam terealisasi, ratusan juta pekerja kena PHK

Namun demikian, menurutnya, hal ini hanya akal-akalan. Sebab dalam praktik, akan sangat mudah bagi pengusaha untuk menurunkan jam kerja, sehingga pekerja tidak lagi bekerja 40 jam.

Said mengatakan, penerapan yang berbeda seperti ini adalah bentuk diskriminasi terhadap upah minimum. Upah minimum adalah upah minimum yang berlaku bagi semua warga negara yang bekerja sebagai jaring pengaman.

Ia menyebutkan, di Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, tidak boleh ada pekerja yang mendapatkan upah di bawah upah minimum. Jika itu dilakukan, sama saja dengan kejahatan. Pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum bisa dipidana.

"Karena itu, berdasarkan uraian di atas, sangat terlihat jika pemberian upah per jam adalah mekanisme untuk menghilangkan upah minimum. Karena ke depan akan banyak perusahaan yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari," ujar dia.

Kedua, menghilangkan pesangon. Menko Perekonomian menggunakan istilah baru dalam omnibus law, yakni tunjangan PHK yang besarnya mencapai enam bulan upah.

Terkait hal ini, Said mengatakan, bahwa di dalam UU No 13 Tahun 2003 sudah diatur mengenai pemberian pesangon bagi buruh yang ter-PHK. Besarnya pesangon adalah maksimal sembilan bulan, dan bisa dikalikan dua untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 16 bulan upah. 



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×