Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Ikatan Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (Iluni FEB UI) menyoroti ruang fiskal Indonesia di tengah tekanan global dan keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Ekonom FEB UI Vid Adrison menyampaikan, penurunan signifikan dana Transfer ke Daerah (TKD) pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 sebesar 24,8% menjadi Rp 650 triliun, akan berdampak besar ke penerimaan kabupaten/kota.
“Sebab, rata-rata porsi TKD dalam anggaran daerah sekitar 73%. Menaikkan pajak bumi bangunan (PBB) menjadi opsi yang dipilih ptapi ini membebani masyarakat dan memicu protes di daerah,” ujar Vid dalam keterangan tertulisnya, Selasa (2/9/2025).
Baca Juga: APBN 2026 Dikhawatirkan Sulit Dorong Pertumbuhan Ekonomi karena Beban Utang
Vid juga menyoroti target pertumbuhan ekonomi sebesar 7% hingga 8% pada 2029 mendatang yang dinilai sulit di tengah perlambatan ekonomi dan beban fiskal.
Menurutnya, program prioritas pemerintah yakni Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak memberi nilai tambah baru.
“Apakah MBG bisa mendorong pertumbuhan, atau hanya memindahkan dana dari kantong orang tua ke pemerintah?” ujarnya.
Terkait adanya opsi pemerintah dalam meningkatkan penerimaan negara, kata Vid, penting untuk memperbaiki kualitas governance dan institusi. Menurutnya, kualitas institusi dan tata kelola pemerintahan yang baik bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat.
“Jika orang percaya, kegiatan ekonomi akan berkembang, uang akan berputar. Orang juga akan lebih rela membayar pajak kalau kualitas institusi dan tata kelola pemerintahan baik,” kata Vid.
Dewan Guru Besar FEB UI Mohamad Ikhsan menambahkan, ruang belanja APBN makin sempit akibat dominasi belanja wajib, terutama pembayaran bunga utang.
Menurutnya, apabila belanja produktif tidak diperbesar, hanya akan ada warisan utang tanpa pertumbuhan berkelanjutan. Ia juga menyoroti rendahnya tax base dengan sekitar 85% PPh disumbang oleh 15% wajib pajak.
Selanjutnya, Ikhsan menyampaikan, program populis tidak selalu dapat dikonversi menjadi kenaikan penerimaan di masa mendatang. Gagalnya debt-led growth strategy dalam melakukan fiscal capture ini akan membuat ruang fiskal semakin sempit.
"Kita harus hati-hati dengan kebijakan populis yang biayanya besar tapi minim manfaat jangka panjang,” tambahnya dalam keterangan tertulis tersebut.
Sementara itu, Managing Director & Senior Partner Boston Consulting Group (BCG) sekaligus alumni FEB UI Lenita Tobing menekankan perlunya pergeseran peran APBN dari pembayar menjadi penggerak dan instrumen derisking.
Ia mengusulkan konsep sunset and swap untuk mengalihkan subsidi konsumtif ke belanja produktif. “Daripada crowd-out pembiayaan swasta, APBN harus crowd-in lewat penjaminan, matching fund, green bonds, atau joint venture,” ujar Lenita.
Ia menambahkan, tata kelola harus berbasis outcome dengan monitoring ketat yang dikaitkan dengan anggaran. Menurutnya program sosial harus tetap ada, tapi tepat sasaran dan mengecil otomatis saat indikator membaik.
Sektor enabler seperti iklim, logistik, transportasi, pariwisata, dan digital juga dinilai tetap mendapat dukungan dari APBN karena merupakan katalis pertumbuhan dan memberi multiplier effect untuk penciptaan lapangan kerja dan pemerataan ekonomi.
Baca Juga: APBN 2026 Terjebak Siklus Utang, Pertumbuhan Ekonomi 5,4% Berisiko Sulit Tercapai
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyoroti salah satu tantangan industri nasional yang masih bergantung pada impor bahan baku.
“Kita ingin mendorong hilirisasi dan menjadi basis ekspor, tetapi kemandirian industri belum sepenuhnya terbangun. Untuk itu, diperlukan pembenahan di sektor upstream.” ungkapnya.
Ia menilai Indonesia masih terjebak dalam biaya ekonomi tinggi, mulai dari logistik, energi, pembiayaan, hingga produktivitas tenaga kerja yang kalah saing dengan negara tetangga ASEAN.
Shinta menambahkan, setiap tahun terdapat tambahan sekitar 2 juta hingga 3 juta angkatan kerja baru, namun keterbatasan daya serap sektor formal membuat banyak di antaranya lari ke sektor informal.
“Kita harus mendorong reformasi kebijakan struktural yang berfokus pada job creation. Dengan fokus pada penciptaan dan perluasan kesempatan kerja, Indonesia tidak hanya mampu mengurangi tekanan informalitas, tetapi juga dapat mengoptimalkan bonus demografi yang dimiliki,” jelasnya.
Selanjutnya: Ethereum, Emas, dan Obligasi Jadi Primadona Investasi Hingga Agustus 2025
Menarik Dibaca: Rekomendasi 6 Tontonan Dokumenter Netflix Penuh Fakta Mengejutkan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News