kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.932.000   3.000   0,16%
  • USD/IDR 16.324   50,00   0,31%
  • IDX 7.906   -21,15   -0,27%
  • KOMPAS100 1.110   -3,68   -0,33%
  • LQ45 818   -11,31   -1,36%
  • ISSI 266   0,54   0,20%
  • IDX30 424   -4,89   -1,14%
  • IDXHIDIV20 492   -5,66   -1,14%
  • IDX80 123   -1,56   -1,25%
  • IDXV30 132   -0,72   -0,54%
  • IDXQ30 137   -1,77   -1,27%

LPEM UI: Lambatnya Realisasi Belanja APBD Dipicu Ketergantungan pada Transfer Pusat


Selasa, 26 Agustus 2025 / 17:52 WIB
LPEM UI: Lambatnya Realisasi Belanja APBD Dipicu Ketergantungan pada Transfer Pusat
ILUSTRASI. Foto udara sejumlah kendaraan melintasi jembatan layang di pintu keluar Jalan Tol Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Sabtu (27/11/2021). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/rwa. LPEM FEB UI menilai rendahnya realisasi belanja APBD disebabkan oleh ketergantungan daerah pada belanja anggaran TKD 2025 yang dipangkas.


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky, menilai rendahnya realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) salah satunya disebabkan oleh ketergantungan daerah pada belanja anggaran Transfer ke Daerah (TKD) tahun ini yang mengalami pemangaksan.

Meski begitu, Ia menilai realisasi belanja APBD tak bisa dipukul rata di semua daerah. Pasalnya, kapasitas fiskal antarwilayah sangat variatif dan dipengaruhi oleh tingkat ketergantungan terhadap transfer dari pemerintah pusat.

“Angka 43% itu kan rata-rata, tapi sebenarnya belanja APBD ini cukup berbeda atau variatif antara satu daerah dengan daerah lainnya. Jadi nggak bisa disamaratakan treatment-nya,” ujar Riefky kepada KONTAN, Selasa (26/8).

Menurutnya, persoalan utama rendahnya serapan APBD adalah transfer pusat ke daerah yang tersendat. Hambatan pencairan ini membuat banyak pemerintah daerah kesulitan menjalankan program secara optimal.

Baca Juga: Realisasi Belanja APBD Melambat, Ekonom Ingatkan Risiko pada Ekonomi Daerah

“Ini menjadi isu utama. Makanya daerah-daerah banyak yang kemudian berusaha menaikkan pajaknya karena ketergantungan mereka terhadap transfer pusat cukup tinggi,” jelasnya.

Riefky menilai, kondisi ini menuntut pemerintah pusat untuk melakukan penyesuaian agar kebijakan efisiensi anggaran tidak mengorbankan stabilitas fiskal daerah. Dengan demikian, pembangunan di daerah tetap bisa berjalan tanpa terganggu masalah keterlambatan transfer.

“Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana efisiensi anggaran bisa dilakukan tanpa mengganggu kestabilan fiskal daerah,” tegas Riefky.

Asal tahu saja, realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hingga 22 Agustus 2025 tercatat Rp604,33 triliun atau 43,63% dari pagu. Angka ini lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp736,93 triliun atau 52,16%. Artinya, serapan anggaran tahun ini melambat dibanding 2024.

Di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa anggaran Trasfer ke Daerah tahun ini dalam APBN 2025 juga mengalami pemangkasan sebesar Rp50,59 triliun menjadi Rp 848,52 triliun

Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengingatkan pemerintah daerah untuk mempercepat realisasi belanja menjelang akhir tahun anggaran. Ia mencontohkan Jawa Barat sebagai provinsi dengan serapan tertinggi, yakni mencapai 60%, disusul Gorontalo dan Riau.

“Optimalisasi belanja daerah penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus meningkatkan pelayanan publik,” ujar Bima dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR RI, Senin (25/8).

Baca Juga: Soal Subsidi Pangan dari APBD, Pengamat: Tidak Sehat Dari Segi Tata Kelola Anggaran

Selanjutnya: Tidak Hanya Diskon, BCA Expo 2025 Turut Pamerkan Aktivitas Keberlanjutan

Menarik Dibaca: Promo Sociolla Payday Rewards 25-31 Agustus 2025, Hair Dryer-Serum Diskon hingga 60%

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Powered Scenario Analysis AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004

[X]
×