Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Inflasi domestik pada Desember 2025 diperkirakan meningkat secara musiman seiring momentum Natal dan Tahun Baru (Nataru). Kenaikan ini terutama dipicu oleh harga pangan bergejolak (volatile food) akibat lonjakan permintaan akhir tahun, faktor cuaca, serta kendala distribusi.
Kepala Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Muhammad Rizal Taufikurahman menilai, faktor musiman pada periode Nataru menjadi pendorong utama inflasi Desember, terutama melalui kenaikan harga pangan bergejolak yang dipengaruhi permintaan akhir tahun, cuaca, dan distribusi.
“Ditambah dengan implementasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang turut menambah tekanan permintaan pada sejumlah komoditas pangan utama, meski dampaknya relatif terbatas secara nasional,” ujar Rizal kepada Kontan, Senin (29/12/2025).
Baca Juga: Nataru, Uang Beredar Diprediksi Naik 11%–13% Tembus Rp 5.900 Triliun Desember 2025
Ia memperkirakan kontribusi program MBG terhadap inflasi bulanan berada di kisaran 0,05–0,10 poin persentase (ppt). Dengan asumsi harga energi dan tarif tetap terkendali, inflasi Desember 2025 diproyeksikan berada di kisaran 0,30% secara month to month (mtm).
Secara tahunan, Rizal memperkirakan inflasi sepanjang 2025 tetap berada dalam koridor sasaran. Hal ini ditopang oleh kebijakan penahanan harga oleh pemerintah, penguatan pengendalian inflasi pusat dan daerah, serta kebijakan moneter yang berhati-hati.
“Meskipun tekanan dari sisi pangan dan permintaan domestik masih ada, inflasi 2025 diproyeksikan berada pada kisaran 2,8%–3,1% secara year on year (yoy),” ungkapnya.
Memasuki kuartal I 2026, Rizal memperkirakan tekanan inflasi akan mereda seiring berakhirnya faktor musiman Desember 2025.
Koreksi harga pangan pada Januari serta stabilitas harga pada Februari hingga Maret diperkirakan menahan inflasi bulanan di kisaran 0,3% mtm, dengan inflasi tahunan tetap terjaga di sekitar target.
Meski demikian, ia mengingatkan adanya risiko dari faktor cuaca dan dinamika harga pangan global yang masih perlu diantisipasi.
Baca Juga: Indef : Bencana Sumatra Berpotensi Dongkrak Inflasi Nasional pada Desember 2025
Rizal menjelaskan, inflasi pada periode Ramadan–Lebaran yang jatuh pada kuartal I 2026 memang tidak otomatis melampaui inflasi Desember 2025. Menurutnya, Desember merupakan puncak inflasi tahunan karena didorong oleh berbagai faktor sekaligus, seperti Nataru, bonus akhir tahun, dan percepatan belanja pemerintah.
Sementara itu, Lebaran cenderung menggeser waktu konsumsi, bukan meningkatkan level konsumsi agregat.
“Apalagi belanja fiskal di awal tahun belum progresif. Masalah utamanya ada pada kualitas daya beli,” ujarnya.
Ia menilai pemulihan kelas menengah yang belum solid membuat belanja Lebaran bersifat substitusi sektoral. Pengeluaran untuk pangan dan transportasi meningkat, sementara belanja sektor lain menurun, sehingga dampak bersihnya terhadap konsumsi riil menjadi terbatas.
Dari sisi harga, tekanan inflasi selama Ramadan kerap bersumber dari kelompok volatile food. Jika tekanan tersebut dipicu oleh gangguan pasokan, inflasi justru berpotensi menggerus daya beli riil dan tidak mencerminkan permintaan yang sehat.
“Dengan belanja pemerintah awal tahun yang belum agresif, Ramadan–Lebaran pada kuartal I lebih berperan menahan pelemahan ekonomi, bukan membentuk puncak inflasi baru seperti Desember,” tambahnya.
Baca Juga: Inflasi Sumatra Meledak Usai Bencana, Ekonom: Ini Force Majeure, Harus Out of the Box
Sementara itu, Global Market Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto memproyeksikan inflasi Desember 2025 berada di level 0,52% mtm, dengan inflasi tahunan sekitar 2,8% yoy.
Ia menjelaskan, kenaikan inflasi Desember didorong oleh kenaikan harga pangan akibat musim hujan dan peningkatan permintaan akhir tahun. Selain itu, terdapat dampak meski relatif minor dari bencana alam di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh sejak akhir November.
Inflasi juga dipengaruhi oleh kenaikan tarif transportasi darat, kereta api, dan udara. Dari sisi pangan, komoditas yang mengalami kenaikan harga paling terlihat antara lain cabai, telur, daging ayam, dan bawang. Sementara itu, kenaikan harga komoditas lain seperti emas dinilai masih terbatas.
Untuk kuartal I 2026, Myrdal memperkirakan inflasi masih menunjukkan tren peningkatan. “Memang ada dampak dari periode peak season Lebaran dan bulan puasa, sehingga wajar inflasi pada tiga bulan pertama meningkat,” katanya.
Faktor lain yang berperan adalah kondisi awal tahun ketika harga pangan cenderung masih tinggi akibat musim hujan dan belum memasuki musim panen. Berdasarkan proyeksi tersebut, inflasi kuartal I 2026 diperkirakan berada di kisaran 2,76%–3,06% yoy.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan bahwa ekspektasi inflasi saat ini masih sesuai dengan sasaran, dengan imported inflation tetap terkendali. Inflasi kelompok administered prices tercatat sebesar 1,58% yoy pada November 2025, sementara inflasi volatile food masih relatif tinggi di level 5,48% yoy.
“Inflasi volatile food terutama disumbang oleh komoditas bawang merah seiring pasokan yang terbatas akibat gangguan cuaca dan kenaikan harga benih,” ujar Perry.
Ke depan, Bank Indonesia meyakini inflasi pada 2025 dan 2026 tetap terjaga dalam sasaran 2,5% ±1%. Inflasi inti diperkirakan tetap rendah seiring ekspektasi inflasi yang terjangkar, kapasitas ekonomi yang masih besar, imported inflation yang terkendali, serta dampak positif digitalisasi.
Sementara itu, inflasi volatile food diharapkan tetap terkendali melalui sinergi Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP/TPID) serta penguatan Program Ketahanan Pangan Nasional.
Selanjutnya: IFG Dorong Praktik Pengadaan Berintegritas untuk Perkuat Kepercayaan Pasar
Menarik Dibaca: Kenali Growth Mindset Biar Kualitas Hidup Meningkat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













