Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Pemerintah ingin kembali meluncurkan paket kebijakan ekonomi jilid XV. Namun demikian, 14 paket kebijakan yang sebelumnya telah dirilis pemerintah dinilai belum menunjukkan hasil yang optimal.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menilai pemerintah gagal memanfaatkan momentum akselerasi pertumbuhan ekonomi lewat paket kebijakan yang sudah ada.
“Potensi terjadinya akselerasi pertumbuhan di 2016 cukup besar, tapi ada persoalan yang tidak mampu diselesaikan pemerintah, misal daya beli dan investasi,” kata Enny di Kantor INDEF, Jakarta, Kamis (9/2).
Enny mengatakan, apabila masalah-masalah itu tidak segera dibenahi, pada 2017 juga akan terjadi hal yang sama, yaitu potensi pertumbuhan yang terlewatkan. Menurut dia, saat ekonomi memburuk, pemerintah malah tidak bisa memberikan stimulus
“Banyak paket-paket kebijakan yang mandul pelaksanaannya di daerah. Ekspor impor tidak berjalan dengan baik, lalu permasalahan di sektor keuangan,” ucapnya.
Ekonom INDEF Ahmad Heri Firdaus melanjutkan bahwa secara historis pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak terjadinya pelambatan ekonomi global pada 2013 juga ikut lambat. Namun, dua tahun terakhir trennya stagnan meskipun pemerintah sudah lakukan upaya via paket kebijakan ekonomi sebanyak 14 jilid
“Tetapi tetap susah dorong 2016 kemarin. Kami menilai paket hanya berdampak pada ekspektasi yang besar jangka pendek, tapi tidak tidak berbuah besar,” ujarnya.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang 5,02% menurut Ahmad belum mencerminkan upaya yang maksimal. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran sangat ditopang konsumsi rumah tangga yang pertumbuhannya mencapai 5,1%, menyamai pertumbuhan ekonomi
“Komponen-kompinan lain misalnya belanja pemerintah untuk memberikan rangsangan tidak berjalan. Artinya pemerintah tidak melakukan apa-apa pun ekonomi tumbuh karena masyarakat ini. Justru investasi melambat, ekspornya turun lebih kecil dari impor," jelasnya.
Ia pun mengungkapkan bahwa surplus neraca perdagangan yang terjadi di 2016 bukanlah surplus yang baik. Bila ditelusuri, menurut Ahmad, konsumsi meningkat, tetapi industri manufaktur mengalami perlambatan,
“Lantas konsumsi yang tumbuh itu ditopang dengan barang-barang impor. Sektor jasa yanhg berkembang ternyata mendukung industri di negara lain,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News