Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah mengatur e-commerce lewat beleid Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Namun, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai ada sejumlah ketentuan dalam beleid tersebut yang menimbulkan pertanyaan dan membutuhkan kejelasan.
Direktur Program Indef Esther Sri Astuti mengatakan, peran ekonomi digital dalam perekonomian memang semakin besar dari hari ke hari.
Mengutip data Indikator Consumer Survey, Esther menyebut, total kontribusi ekonomi digital terhadap PDB Indonesia mencapai Rp 814 triliun atau setara 5,5% PDB pada tahun 2018.
Di sektor perdagangan, restoran, dan akomodasi, kontribusi ekonomi digital tercatat sebesar 4,96%.
Baca Juga: Pelaku usaha minta kejelasan aturan turunan PP 80/2019
Oleh karena itu, regulasi terhadap ekonomi digital, khususnya perdagangan elektronik memang diperlukan. Terutama berkaitan dengan pertanggungjawaban inovasi, perlindungan data dan konsumen, serta manajemen risiko.
“Database berupa identifikasi pelaku bisnis, produk yang diperjualbelikan, segmentasi pasar, volume dan nilai transaksi perdagangan perlu diatur. Perdagangan elektronik tampak seperti bola liar, hanya penyedia platform saja yang mengetahui detil berapa besar kue ekonominya dan belum berbagi data dengan pemerintah,” tutur Esther, Senin (8/12).
Namun, Peneliti Indef Ario Dharma memandang ada beberapa catatan penting yang menjadi pertanyaan dari PP 80/2019 tersebut. Di antaranya, pasal 7 yang menyebutkan soal kriteria tertentu dari pelaku usaha luar negeri yang aktif berjualan secara elektronik kepada konsumen di Indonesia, yang dianggap memenuhi kehadiran fisik dan kegiatan usaha di Indonesia.
Kriteria tertentu itu ialah jumlah transaksi, nilai transaksi, jumlah paket pengiriman, dan/atau jumlah traffic atau pengakses.
Ario berpendapat, poin tersebut berpotensi menjadi bumerang bagi pemerintah jika tidak benar-benar dirumuskan dengan matang.
“Sebab nilai transaksi perdagangan memiliki tren yang meningkat secara signifikan sehingga metode penentuan kriteria tersebut akan menjadi PR besar. Apakah menggunakan nilai saat ini atau nilai yang akan datang (proyeksi),” kata Ario.
Selanjutnya, pelaku usaha luar negeri yang memenuhi kriteria tertentu tadi juga diwajibkan menunjuk perwakilan yang berkedudukan di Indonesia yang dapat bertindak sebagai dan atas nama pelaku usaha luar negeri tersebut.
Baca Juga: Hati-hati, pencuri data pribadi terancam hukuman penjara 10 tahun
Ario mengatakan, aturan sama sekali tidak menjelaskan bentuk badan usaha perwakilan tersebut. Menurutnya, perwakilan mestinya berbentuk badan usaha yang melibatkan pelaku usaha dalam negeri pada kepemilikan saham dengan besaran persentase yang perlu dikaji lebih lanjut.
Di samping itu, Ario juga mempertanyakan aturan terkait sistem pembayaran dalam pelaksanaan penyelenggaraan pembayaran melalui sistem elektronik. Tertulis bahwa pelaku usaha dalam dan luar negeri dapat bekerja sama dengan penyelenggara jasa sistem pembayaran dengan melaporkan kerja sama tersebut kepada Menteri.
“Padahal mengenai sistem pembayaran kita sudah memiliki GPN yang dibangun oleh BI. Sehingga, tidak tepat jika dilaporkan kepada Menteri Perdagangan,” lanjutnya.
Terkait dengan aturan yang mewajibkan pelaku usaha untuk memiliki izin usaha dalam melakukan kegiatan perdagangan elektronik, Ario ragu dapat berjalan efektif. Ia menilai pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan teknis yang mencakup tata cara memperoleh izin usaha perdagangan elektronik tersebut.
“Secara umum, saya meragukan poin tersebut dapat efektif sebab perdagangan dengan sistem elektronik sudah berlangsung secara masif, sehingga pemerintah akan kesulitan untuk mengatur proses perizinannya,” tandas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News