Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memproyeksikan dampak kebijakan tarif impor 19% yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) terhadap produk asal Indonesia, akan menyebabkan pelemahan daya beli masyarakat.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M. Rizal Taufikurahman, menyampaikan bahwa meski tarif 19% tersebut lebih rendah dari ancaman sebelumnya yang mencapai 32%, dampaknya tetap merugikan Indonesia. Terlebih, Indonesia justru menerapkan tarif 0% terhadap hampir seluruh produk asal AS.
Menggunakan pendekatan model Global Trade Analysis Project (GTAP), Indef mencatat bahwa daya beli rumah tangga Indonesia berpotensi turun sebesar 0,091% akibat kebijakan perdagangan tersebut. Penurunan ini tidak hanya mencerminkan pelemahan daya beli, tetapi juga berimbas pada sejumlah indikator makroekonomi lainnya.
“Penurunan ini mencerminkan apa? Melemahnya pendapatan dan naiknya harga konsumsi, yang menekan konsumsi riil,” jelas Rizal dalam diskusi, Senin (21/7).
Rizal mengungkapkan, kesepakatan perdagangan antara RI dan AS ini juga berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja yang menurun sebesar 0,064%, investasi (-0,061%), kapasitas fiskal (-0,122%), nilai ekspor (-0,197%), nilai impor (-0,251%), hingga pertumbuhan ekonomi yang berpotensi terkoreksi sebesar -0,11%.
Baca Juga: Indef: Diversifikasi Pasar Ekspor Jadi Kunci Hadapi Tarif Tinggi AS
“Indonesia sangat rentan terhadap kebijakan unilateral mitra dagangnya dan memerlukan strategi kompensasi jangka pendek dan reformasi struktural jangka panjang,” ujarnya.
Melihat dampak tersebut, Rizal mendorong pemerintah untuk segera menyiapkan lima kebijakan fiskal jangka pendek guna memitigasi tekanan dari sisi konsumsi maupun produksi.
Pertama, pemberian insentif fiskal bagi sektor berorientasi ekspor seperti tax allowance untuk industri padat karya dan manufaktur terdampak. Kedua, bantuan sosial terarah untuk menjaga daya beli masyarakat, misalnya melalui perluasan bantuan tunai bersyarat di kawasan industri ekspor.
Ketiga, kompensasi fiskal untuk daerah industri ekspor seperti pemberian dana insentif fiskal ke sentra ekspor nasional, antara lain Batam, Karawang, dan Pasuruan. Keempat, penguatan kurs dan stabilitas harga impor strategis melalui subsidi terbatas bahan pangan impor.
Kelima, reprofiling investasi infrastruktur, yakni mengalihkan proyek strategis ke proyek padat karya lokal untuk mendorong serapan tenaga kerja langsung.
Baca Juga: RI Kena Tarif Resiprokal AS 19%, Indef Wanti-Wanti Hal Ini
Selain langkah jangka pendek, Rizal juga menyarankan lima kebijakan struktural jangka panjang. Pertama, diversifikasi pasar ekspor lewat percepatan perjanjian dagang baru dengan India, Timur Tengah, Afrika, dan negara-negara BRICS.
Kedua, hilirisasi dan peningkatan nilai tambah ekspor, terutama di sektor industri manufaktur berbasis teknologi menengah-tinggi serta pengolahan CPO, nikel, dan tekstil. Ketiga, reformasi insentif investasi melalui revisi regulasi OSS-RBA, penguatan kawasan ekonomi khusus (KEK), dan kawasan industri ekspor.
Keempat, transformasi tenaga kerja dengan pelatihan vokasi digital dan manufaktur berkelanjutan. Kelima, penguatan ketahanan fiskal dengan diversifikasi pembiayaan jangka panjang seperti Green Bond, Sukuk, dan instrumen sejenis
Selanjutnya: 10 Pilihan Cemilan Sehat untuk Dikonsumsi Ketika Diet Menurunkan Berat Badan
Menarik Dibaca: 10 Pilihan Cemilan Sehat untuk Dikonsumsi Ketika Diet Menurunkan Berat Badan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News