Reporter: Benedicta Prima | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data neraca perdagangan sepanjang 2018. Data tersebut menunjukkan defisit neraca dagang disebabkan oleh defisit neraca migas mencapai US$ 12,4 miliar. Sedangkan neraca non-migas menunjukkan surplus US$ 3,8 miliar.
Angka ini jauh lebih rendah apabila dibanding surplus neraca non-migas Januari-Desember 2017 yang mencapai US$ 20,4 miliar. Terjadi penurunan surplus US$ 16,6 miliar. Sedangkan peningkatan defisit migas hanya US$ 3,9 miliar.
Ekonom Chatib Basri, melalu media sosialnya pun menyoroti penurunan tajam pada sektor non-migas. Chatib menyadari penurunan harga komoditas turut menyumbang penurunan nilai ekspor non-migas.
Sayangnya, impor bahan baku dan barang modal terus meningkat meski pergerakan peningkatan tak secepat impor barang konsumsi. Impor bahan baku meningkat 20,06% sedangkan impor barang modal tumbuh 19,54%. Jawaranya, selama tahun 2018, impor barang konsumsi naik 22,03%.
Mestinya, sejalan dengan peningkatan impor bahan baku dan barang modal bisa menggenjot industri manufaktur. Data BPS menunjukkan pertumbuhan industri manufaktur justru melambat.
Pada triwulan III-2018, pertumbuhan industri manufaktur besar dan sedang hanya 5,04% lebih rendah dari pertumbuhan triwulan III-2017 yang mencapai 5,51% secara tahunan. Meskipun tetap tumbuh bila dibanding triwulan II-2018 yang tumbuh 4,36%.
Selain itu, kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) terus merosot. Sepanjang 2018, pada triwulan I-2018 kontribusi sebesar 20,26%, turun pada triwulan II-2018 menjadi 19,8%, dan turun lagi pada triwulan III-2018 menjadi 19,66%.
Penurunan share industri manufaktur, serta perlambatan pertumbuhan tersebut disinyalir sebagai dampak dari perubahan pola konsumsi masyarakat.
Ketua Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan, kondisi ini wajar, sebab share industri manufaktur di dunia pun turun. “Saat ini industri manufaktur turun terhadap PDB karena ada pertumbuhan industri baru yaitu jasa,” jelas Benny saat dihubungi Kontan.co.id, Sabtu (19/1).
Dampaknya, permintaan masyarakat saat ini beralih ke sektor jasa. Maka tak mungkin sektor manufaktur memproduksi banyak saat permintaan turun.
Kendati permintaan turun, impor bahan baku dan barang modal terus meningkat. Benny menjelaskan impor bahan baku tak bisa mengikuti pola permintaan. Sehingga impor terus terjadi, sedangkan industri membutuhkan jeda waktu untuk digunakan. “Impor tahun lalu kan kita gunakan untuk tahun ini. Kalau di industri ada istilah time lag,” jelas Benny.
Korelasi antara peningkatan impor bahan baku dan barang modal terhadap pertumbuhan industri manufaktur malah membuka jalan lain. Industri manufaktur tetap bergeliat namun Indonesia belum mampu memproduksi bahan baku dan barang modal untuk memenuhi kebutuhan.
Benny mengatakan, mestinya pemerintah bisa mendorong masuk investor yang bergerak pada industri bahan baku dan barang modal. Sehingga saat industri manufaktur membutuhkan bahan baku dan barang modal tidak perlu impor.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menilai, industri manufaktur tak semestinya menurun atau melambat. “Harusnya tidak boleh turun karena masih negara berkembang yang sedang membangun, salah satu yang membangun instrumen manufaktur,” kata Heri saat dihubungi Kontan.co.id, Sabtu (19/1).
Pasalnya, indutri manufaktur memiliki dampak mulitiplier yang mampu menghasilkan nilai tambah tinggi, mampu menyerap banyak tenaga kerja, bahkan menyumbang penerimaan negara melalui pajak dan ekspor. “Kita perlu ekspor, maka perlu nilai tambah, apabila neraca ekspor tinggi maka membantu neraca perdagangan,” kata Heri.
Saat ini, peranan industri manufaktur belum optimal namun sudah disusul industri jasa. Mestinya industri jasa mengikuti perkembangan industri manufaktur, sebagai indutri sekunder atau penyokong.
Heri mencontohkan ada indutri yang berasal dari luar negeri alias impor, maka perdagangan meningkat. Pelayanan untuk impor pun semakin meningkat, salah satunya transportasi. “Defisit transaksi berjalan karena defisit transportasi ekspor impor yang menggunakan kapal asing dan asuransi. Jadi jasa penunjang juga berasal dari luar negeri,” tambah dia.
Heri mengatakan sektor industri manufaktur menjadi tugas besar pemerintah yang belum rampung. Meskipun kebijakan saat ini sudah cukup apik, implementasinya dirasa masih kurang. Sebab kebijakan ini mesti lintas kementerian atau lintas sektor. Misal untuk sektor pertanian, kebijakan fiskal, perdagangan hingga tenaga kerja.
Kawasan industri yang saat ini dibangun pemerintah juga belum optimal. Hanya beberapa perusahaan yang menenmpati kawasan tersebut. Sebab logistik juga belum beres. Seperti penyediaan kebutuhan listrik dan transportasi yang lebih murah.
“Kalau secara normatif, hitam di atas putih kebijakan sudah bagus, roadmap juga, tetap pelaksanaannya belum,” pungkas Heri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News