Reporter: Bidara Pink | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2023 menjadi 2,7% YoY. Padahal sebelumnya, lembaga tersebut yakin dunia bisa tumbuh 2,9% YoY pada tahun depan.
Bahkan, dalam skenario terburuk, IMF melihat adanya peluang 25% ekonomi global bisa turun ke 2% YoY pada tahun 2023. Ini merupakan titik terendah dalam sejarah pertumbuhan global.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengungkapkan, potensi resesi memang tak terelakkan di tahun 2023. Saking parahnya, Georgieva tak ragu menyebut meski negara berhasil tumbuh positif, hantu resesi tetap tak akan berhenti menghantui.
“Risiko resesi meningkat. Dan meskipun satu negara berhasil tumbuh positif, untuk kebanyakan orang, ini akan berasa seperti resesi karena harga-harga naik dan pendapatan riil turun,” terang Georgieva dalam konferensi pers pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia, Kamis (13/10) waktu setempat.
Baca Juga: IMF Kumpulkan Lebih dari 80% Target Alokasi SDR untuk Bantu Negara Rentan
Gerogiva mengungkapkan, perekonomian global memang saat ini masih dirundung persoalan yang belum bisa dipastikan kapan akan berakhir. Belum juga dampak dari pandemi Covid-19 tuntas, invasi Rusia ke Ukraina serta ketidakpastian iklim datang menghantui. Ini yang menimbulkan krisis baru di dunia.
Belum lagi ini memberi dampak rambatan ke peningkatan inflasi, yang kemudian membuat negara-negara mulai mengetatkan kebijakan moneternya. Ketidakpastian di pasar keuangan pun mulai muncul.
Baca Juga: Persiapkan Diri Hadapi Resesi Ekonomi Global Tahun Depan, Catat 3 Langkahnya
Tentu para pemangku kebijakan harus sigap dalam menghadapi masalah yang lebih kompleks. Georgieva mengatakan, para pemangku kebijakan perlu memiliki tangan yang mantap dalam menarik tuas kebijakan yang tepat. Salah dalam langkah kebijakan, akan berakibat fatal bagi pertumbuhan ekonomi.
“Harga kesalahan langkah kebijakan, harga komunikasi yang buruk tentang arah kebijakan, ini sangat tinggi. Dengan demikian, para pemangku kebijakan harus meminimalkan risiko untuk salah langkah dalam mengambil kebijakan,” tandas Georgieva.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News