Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memperingatkan lonjakan inflasi di negara-negara maju, salah satunya Amerika Serikat (AS).
Terkait hal itu, IMF meminta bank-bank sentral negara maju, termasuk bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) untuk segera memperketat kebijakan moneternya, bahkan termasuk menaikkan suku bunga acuan.
“Bank sentral negara-negara maju seperti The Fed harus bersiap memperketat kebijakan jika inflasi di luar kendali. Kebijakan juga bisa berupa kebijakan peningkatan suku bunga,” tulis IMF dalam laporan World Economic Outlook, seperti dikutip Minggu (17/10).
Pemerintah AS memang melaporkan inflasi di bulan September 2021 sebesar 0,4% mom dan bila dibandingkan dengan September 2020, ini melesat 5,4% dan bahkan lebih tinggi dari bulan Agustus 2021 yang sebesar 5,3% yoy.
Baca Juga: Dapat alokasi SDR, ULN bank sentral tercatat naik US$ 6,3 miliar
Salah satu yang memicu inflasi memang adanya kenaikan harga komoditas global, termasuk energi. Namun, ini tetap memberikan ketidakpastian yang tinggi.
Kepala ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual melihat, The Fed belum akan menaikkan suku bunganya dalam waktu dekat meski dengan kondisi terkini.
“Belum, masih akan akhir tahun depan. Mereka akan memulai dengan pengurangan kebijakan moneter dulu. Baru, pada akhir tahun depan akan menaikkan suku bunganya,” ujar David kepada Kontan.co.id.
Nah, kebijakan pengurangan stimulus terkait pandemi ini memang akan dilakukan pada pertengahan November 2021 atau pertengahan Desember 2021, alias sudah dimulai di akhir tahun ini.
David tak terlalu khawatir akan pengaruhnya terhadap ketahanan eksternal Indonesia, terutama terkait nilai tukar Rupiah. Pasalnya, Indonesia masih memiliki amunisi yang kuat dalam menjaga pergerakan mata uang Garuda.
Baca Juga: IMF pangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia jadi 3,2% pada 2021
Pertama, dari kondisi cadangan devisa, Indonesia memiliki cadangan devisa yang sangat tambun. Bahkan, pada September 2021 cadangan devisa tercatat US$ 146,9 miliar atau yang tertinggi sepanjang sejarah.
Gendutnya cadangan devisa ini bisa digunakan oleh Bank Indonesia (BI) untuk melakukan intervensi bila nilai tukar rupiah bergejolak. Kedua, neraca perdagangan Indonesia juga baik didukung dengan ekspor yang masih tinggi sehingga menyuplai kebutuhan valuta asing.
Ketiga, kekhawatiran akan arus modal asing keluar makin mini. Pasalnya, hingga saat ini kepemilikan asing terutama di Surat Utang Negara (SUN) lebih kecil daripada kepemilikan investor dalam negeri.
Keempat, fundamental perekonomian Indonesia yang membaik dengan penanganan pandemi Covid-19 yang makin baik. Tentu, ini akan membawa angin segar bagi prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia.
David pun memperkirakan, pergerakan nilai tukar di akhir tahun ini akan berada di kisaran Rp 14.000 hingga Rp 14.200 per dollar AS.
Selanjutnya: Menakar Kompleksitas Multitarif PPN
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News