Reporter: Noverius Laoli | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pembangunan yang seimbang antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan merupakan kunci dalam menuju pembangunan berkelanjutan. Oleh karenanya, pemerintah didesak memperhatikan lingkungan dalam pembangunan nasional.
Ketua Umum Indonesian Environmental Scientists Association (IESA) Tri Edhi Budhi Soesilo mengatakan, tantangan utama dalam pembangunan nasional saat ini adalah peningkatan jumlah penduduk yang dibarengi dengan meningkatnya kebutuhan dan keinginan atas barang dan jasa. Padahal sumber daya alam tidak terbarukan semakin terbatas dan terjadi penyusutan.
"Sementara tingkat pengetahuan dan keterampilan di Indonesia masih terbilang rendah," ujarnya akhir pekan lalu.
Ia bilang, berdasarkan proyeksi Bappenas, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 305,6 juta jiwa pada tahun 2035. Dan cadangan minyak mentah Indonesia akan habis dalam kurun 22,9 tahun, gas habis dalam 58,9 tahun, dan batubara habis dalam 82 tahun.
Sementara indeks pembangunan manusia di Indonesia saat ini baru mencapai 0,684 dan berada di rangking 110. Sedikit di atas Filipina yang berada di peringkat 115, namun jauh di bawah Tiongkok yang berada di peringkat 90.
Dalam situasi tersebut, bencana alam di Indonesia justru menunjukan peningkatan. Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kejadian bencana di Indonesia naik dari 143 kejadian pada tahun 2002 menjadi 1.967 kejadian pada tahun 2014.
Sekitar 98% dari total kejadian bencana per tahun, adalah bencana hidrometeorologis seperti anjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan dan lahan. Tren bencana ke depan diproyeksi BNPB akan terus meningkat dikarenakan perilaku manusia (antropogenik).
Ketua Bidang Kerjasama dan Komunikasi IESA Mahawan Karuniasa menambahkan, meningkatnya bencana hidrometeorologis tak bisa lepas dari perubahan iklim yang saat ini terjadi. Pada tahun 2012 lalu, Indonesia menghasilkan emisi karbondioksida sebanyak 435,5 metrik ton (MT) atau 4,5% dari total emisi global.
Emisi dari sektor energi menyumbang 25% dari catatan emisi Indonesia. Jika emisi karbondioksida dirinci, sebanyak 42,1% berasal dari pembangkit listrik, 21,6% dari industri manufaktur dan konstruksi, 29,5% dari transportasi, dan 6,8% emisi berasal dari perumahan, komersial, layanan publik, pertanian dan kehutanan.
Indonesia sudah mencanangkan komitmen untuk menurunkan emisi karbondioksida secara sukarela sebesar 26% pada 2020 mendatang, dan bisa mencapai 41% dengan bantuan internasional.
Sementara itu, Staf Khusus Kepala Kantor Staf Presiden Noer Fauzi Rachman berharap dukungan anggota IESA terkait kebijakan pemerintah yang mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan. Dia menuturkan, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatakan Pemerintahan Presiden Joko Widodo akan memperluas akses rakyat terhadap lahan. Ada program perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare (ha) dan reforma agraria seluas 9 juta ha.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News