kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

IEF Research: Kebijakan ekonomi harus berbasis riset dan bukti


Kamis, 11 November 2021 / 21:47 WIB
IEF Research: Kebijakan ekonomi harus berbasis riset dan bukti
ILUSTRASI. Truk peti kemas melintas di kawasan IPC Terminal Peti Kemas Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (26/10/2021). IEF Research: Kebijakan ekonomi harus berbasis riset dan bukti.


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute menilai peran elemen bangsa lintas sektor sangat diperlukan untuk mencapai kemandirian ekonomi yang meneguhkan komitmen membangun bangsa.

Peneliti Senior IEF dan sekaligus Guru Besar Universitas Negeri Malang (UM) Profesor Imam Mukhlis mengatakan, kebijakan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah harus presisi dan tepat sasaran untuk mencapai kemandirian ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat adalah berbasis riset dan bukti.

“Hasil penelitian seharusnya menjadi acuan dasar pemerintah untuk pembuatan kebijakan yang tepat sasaran. Acuan dasar itu meliputi pengetahuan pakar, hasil penelitian yang dipublikasikan, statistik, konsultasi dengan pemangku kepentingan, evaluasi-evaluasi kebijakan sebelumnya, dan lain-lain,” kata Imam dalam diskusi publik IEF Research Institute, Kamis (11/11).

Peneliti senior IEF Research Institute ini menjelaskan, kanal peran serta peneliti dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sebagai instrumen kebijakan pun telah dibuka melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

Baca Juga: Target PPh 2022 turun, Pengamat Pajak: Kompensasi dampak pandemi di 2020-2021

Ketua Yayasan Bung Karno (YBK) Guruh Sukarnoputra mengatakan, ekonomi berdikari digagas presiden pertama RI  sebagai reaksi atas praktik ekonomi kolonial yang eksploitatif.  Pada hakikatnya ekonomi berdikari ini dilaksanakan melalui teori triksakti yakni berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam berkebudayaan.

Target ekonomi berdikari bukanlah pada pertumbuhan ekonomi semu melainkan pada pemerataan ekonomi itu sendiri.  Paham ini berbeda dengan sistem liberalisme yang hari ini dikenal dengan neoliberalisme dengan pasar bebasnya.

"Namun, di era globalisasi ekonomi, justru yang terjadi adalah kesenjangan, pengangguran, kemiskinan sampai pada kerusakan alam dan lingkungan hidup. kerusakan atas sistem perekonomian akibat pasar bebas tanpa kendali mendorong pemodal kuat memonopoli pasar," katanya. 

Direktur Eksekutif IEF Research Institute Ariawan Rahmat mengatakan, mereka yang berkontribusi nyata dalam membangun negeri ini, termasuk menjaga kedaulatan ekonomi, merupakan pahlawan.

Menurutnya, salah satu kontribusi yang bisa dilakukan adalah pembayaran pajak sesuai ketentuan yang berlaku. Dia bilang, idealnya postur APBN harus dibiayai dari penerimaan pajak dan penghasilan negara, termasuk dari devisa. 

Baca Juga: Mendongkrak Manufaktur Jadi Mesin Pertumbuhan

Namun, saat ini pajak berkontribusi 80% terhadap APBN. Sementara kondisi keuangan negara sedang krisis di tengah penanganan Covid-19 dimana utang pemerintah sudah 40,8% dari PDB per Agustus 2021.

Sementara itu, peneliti senior dari Universitas Kristen Maranatha Bandung Timbul Hamonangan Simanjuntak menyampaikan, kemandirian ekonomi tidak terlepas dari adanya kesinambungan fiskal yang sehat, sehingga dapat memenuhi kebutuhan modal pembangunan dan terjaminnya penyediaan barang dan jasa publik secara berkesinambungan.

Kemandirian ekonomi juga akan menjamin pembiayaan kehidupan  masa depan generasi selanjutnya tanpa terbebani beban utang berkepanjangan. “Tanpa kesinambungan fiskal, tentunya modal pembangunan akan tergantung pada investasi asing. Dalam hal defisit menjadi sebuah kebijakan, maka perlu strategi jalan keluar agar terhindar dari jebakan utang,” kata Hamonangan.

Monang menjelaskan, kebutuhan modal  untuk pembangunan infrastruktur bagi  negara berkembang  sangat mendesak dan sangat besar. Solusi pembiayaan dapat diperoleh baik dari pendanaan asing atau mobilisasi pembiayaan dalam negeri berupa penarikan pajak. 

Solusi kedua ini lebih dipilih karena biaya yang murah dan terhindar dari biaya modal yang mahal baik dalam bentuk beban kewajiban bayar cicilan utang dan bunga utang. 

Selanjutnya: Industri otomotif mulai pulih, penjualan Isuzu meningkat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×