kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.508.000   10.000   0,67%
  • USD/IDR 15.930   0,00   0,00%
  • IDX 7.141   -39,42   -0,55%
  • KOMPAS100 1.095   -7,91   -0,72%
  • LQ45 866   -8,90   -1,02%
  • ISSI 220   0,44   0,20%
  • IDX30 443   -4,74   -1,06%
  • IDXHIDIV20 534   -3,94   -0,73%
  • IDX80 126   -0,93   -0,74%
  • IDXV30 134   -0,98   -0,72%
  • IDXQ30 148   -1,09   -0,73%

IDI Nilai Perlu Standar Kualifikasi Bagi Dokter Asing yang Masuk ke Indonesia


Senin, 20 Februari 2023 / 20:00 WIB
IDI Nilai Perlu Standar Kualifikasi Bagi Dokter Asing yang Masuk ke Indonesia
ILUSTRASI. Tenaga kesehatan. IDI Nilai Perlu Standar Kualifikasi Bagi Dokter Asing yang Masuk ke Indonesia.


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Masuknya dokter dari satu negara ke negara lain menjadi hal yang tak bisa dihindari. Namun, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta agar pemerintah memiliki selective local barrier bagi dokter asing yang akan masuk ke Indonesia.

Ketua Pengurus Besar (PB) IDI, dr Adib Khumaidi mengatakan, setiap negara memiliki aturan selective local barrier tersebut. Saat ini regulasi yang ada mengatur bahwa dokter asing di Indonesia ialah untuk transfer of knowlegde.

"Semua negara itu punya upaya untuk selective barrier, nggak bisa serta-merta dokter asing bisa masuk ke Indonesia," kata Adib kepada Kontan.co.id, Senin (20/2).

Untuk melakukan regulasi selective local barrier atau kontrol terhadap rencana masuknya dokter asing perlu adanya pelibatan dari organisasi profesi. Adib menekankan pemerintah, perlu membuat aturan standar bagi dokter asing yang akan masuk ke Indonesia.

Baca Juga: Ini Alasan IDI Tolak RUU Kesehatan, Kemenkes Akan Jadi Super Power

"Jadi kualifikasi standar itu harus dibuat oleh negara, supaya kalau misalnya ada terkait dengan dokter asing tetap harus memenuhi klasifikasi standar yang kemudian harus melibatkan organisasi profesi," imbuhnya.

Hal tersebut untuk menghindari para dokter asing masuk dengan mudah tanpa terselektif. Hingga pada akhirnya yang akan dirugikan adalah masyarakat. Dimana dikhawatirkan masyarakat akan mendapatkan layanan dari dokter tidak sesuai dengan kompetensinya.

Adib memberi contoh yang terbesar dapat meniru Singapura dalam pengaturan dokter asing. Di Singapura dokter asing yang dapat masuk ialah yang berasal dari fakultas kedokteran yang sudah diverifikasi oleh Singapura.

Kemudian di Singapura dokter asing yang masuk harus ditempatkan di RS umum. Setelah enam bulan akan dilakukan evaluasi oleh supervisor. Barulah ketika beberapa evaluasi dokter asing tersebut dapat masuk ke privat hospital.

"Kalau bebas dokter asing masuk nggak ada standar dan proses seleksi atau kualifikasi, yang dikhawatirkan adalah masyarakat," kata Adib.

Namun Adit tidak menampik bahwa transfer pengetahuan dari dokter asing memang diperlukan. Hal tersebut berkaca pada kesenjangan atau penguasaan teknologi kesehatan di Indonesia yang masih memerlukan peningkatan.

Baca Juga: IDI: Belum Ada Urgensinya RUU Omnibus Law Kesehatan

"Boleh-boleh aja dokter asing untuk transfer knowledge, itu sangat dibutuhkan untuk teman-teman dokter. Tapi pada saat dia hanya bekerja dan tidak ada dalam konteks transfer of knowledge, harus ada proses seleksi atau barrier yang menjadi satu dasar," tegasnya.

Tidak serta merta semua dokter itu bisa bekerja tanpa harus ada kualifikasi atau semua negara menerapkan yang namanya standar barrier.

Ia menambahkan, apabila masuknya dokter asing menjadi salah satu solusi kurangnya dokter, dengan adanya academic health system yang menaikkan rasio dosen terhadap mahasiswanya menjadi 1:5 dari sebelumnya 1:3 tentu akan meningkatkan jumlah lulusan dari fakultas kedokteran.

Baca Juga: PB IDI Gandeng Aplikasi D2D untuk Skrining Kesehatan Masyarakat

"Sudah ada upaya peningkatan produksi dari yang sudah eksisting. Kemudian juga percepatan prodi untuk fakultas kedokteran. Kalau ini bisa dilakukan dengan konsisten didukung dengan aturan yang ada di kementerian pendidikan untuk menjamin kualitas lulusan, sepertinya dari sisi kekurangan nggak perlu kemudian harus itu jadi alasan kemudian butuh dokter asing," ujarnya.

Persoalan kekurangan dokter di Indonesia, IDI menilai perlu adanya penyamaan data antara Kementerian Kesehatan, dengan IDI dan Konsil Kedokteran. Di mana berdasarkan Konsil Kedokteran jumlah dokter sekitar 214.000 dan menurut data IDI 205.000. Sedangkan Kementerian Kesehatan mencatat jumlah dokter 143.000.

Maka diperlukan sinkronisasi data agar diketahui berapa sebenarnya jumlah dokter saat ini dan berapa kekurangannya. IDI mencatat Indonesia memiliki kekurangan dokter 67.000 yang dapat dikejar dalam waktu kurang lebih 5 tahun. Sedangkan menurut Kementerian Kesehatan Indonesia kekurangan dokter sebanyak 160.000.

"Harus disinergikan berkaitan dengan kebutuhan dan jumlah dokter dan dokter spesialis. Agar jangan ada overload terus mereka ngga bisa pelayanan. Harus diperhatikan need dan demand. Kita sudah kroscek koordinasi dengan Kementerian Kesehatan saat ini proses penyamaan data antara IDI Kemenkes dan Konsil," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×