Reporter: Ratih Waseso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi mengatakan, saat ini belum ada urgensi dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan.
"Problema kesehatan saat ini cukup untuk dilakukan implementasi dari undang-undang yang saat ini eksisting. Bicara RUU Kesehatan belum ada urgensinya saat ini," kata Adib dalam Diskusi Virtual, Jumat (17/2).
Ia menjelaskan terdapat 13 poin penting yang harus diperhatikan dalam UU Kesehatan. Dimana tak hanya masalah organisasi profesi, pendidikan kedokteran atau kolegium.
Adapun 13 poin tersebut ialah, aborsi dengan indikasi pemerkosaan, transplantasi organ, komite transplantasi, bedah mayat, zat adiktif, telemedicine, tenaga medis dan tenaga kesehatan asing, konsil kedokteran, data dan informasi kesehatan, spesimen pendonor, intevensi medis, organisasi profesi dan kolegium, sanksi pidana dan pencabutan beberapa UU.
Baca Juga: Dirut BPJS Kesehatan Soroti Poin Kelembagaan dalam RUU Omnibus Law Kesehatan
Ia memberi contoh, dalam draft RUU Omnibus Law Kesehatan rencananya akan ada sanksi pidana praktek kedokteran. Padahal dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2007 sanksi tersebut sudah tidak ada.
"Sekarang dimunculkan lagi. Apa sebenarnya konsekuensi yang bisa terjadi? dokter akan melakukan sebuah pola defensive medicine. 'Wah ini jangan-jangan daripada saya di penjara daripada saya dituntut karena kategori 5,' kemudian apa muncul 'wah ini daripada ini cek dulu deh CT scan MRI', seperti itu," jelasnya.
Maka dengan demikian, akan muncul potensi kenaikan pembiayaan kesehatan. Karena dokter akan memutuskan beberapa pemeriksaan terlebih dahulu. Sehingga upaya untuk mencapai efisiensi biaya kesehatan tidak dapat tercapai.
Kemudian untuk poin pemenuhan dokter spesialis di Indonesia. Adib mengatakan, data dari IDI total dokter dan dokter spesialis adalah 204.492 dokter, yang terdiri dari 44.682 dokter spesialis dan 159.810 dokter.
Berdasarkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) ialah 214.878 dokter. Sedangkan data dari Kementerian Kesehatan ialah 145.913 dokter.
Maka artinya upaya pertama adalah penyelarasan data. Hal ini untuk menghindari potensi banyaknya lulusan dokter namun justru berpotensi tidak memiliki tempat bekerja.
"Pertama kita lakukan adalah penyelarasan data. Kalau belum ada penyelarasan data, jangan sampai kita akan memproduksi banyak dokter tapi tidak ada tempat bekerjanya, yang itu berpotensi jadi pengangguran intelektual profesional," imbuhnya.
Menurutnya distribusi dokter saat ini masih banyak ada di Jawa terutama DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Demikian juga dengan dokter spesialis yang sebagian besar ada di kota besar.
"Jadi bicara rasio total dokter Kita sebenarnya kalau menghitung dengan kebutuhan jumlah dokter yang 1:1.000 maka kita sebenarnya kurang hanya 67.000 dokter kalau kita pakai data yang ada di KKI dan IDI," paparnya.
Tantangan yang dihadapi dalam pemerataan dokter spesialis ialah bukan hanya soal produksi. Tantangan saat jumlah dokter spesialis berlebih ialah bagaimana distribusi lulusan dokter tersebut.
Baca Juga: Tolak RUU Kesehatan, IDI: Menjadikan Kemenkes Super Power
Mengingat saat ini mayoritas dokter spesialis ada di kota-kota besar. Maka untuk distribusi dokter tersebut diperlukan regulasi yang mengaturnya.
"Problemnya sekali lagi bukan dokternya tapi regulasi yang harus dilakukan pemerintah daerah. Pernah ngga kita mengimplementasi UU pemerintah daerah yang seharusnya mengatur tentang kebutuhan dokter dan dokter spesialis di seluruh wilayah Indonesia?," jelasnya.
Menurutnya, dengan implementasi peraturan daerah tersebut, kota-kota besar yang banyak dokter dapat didorong untuk didistribusikan ke daerah.
"Sampai saat ini belum ada data yang mengatakan misal di DKI Jakarta sudah kebanyakan dokter. Sehingga dari data tersebut pemerintah daerah mengatakan DKI Jakarta tertutup untuk dokter spesialis baru, biar semuanya kita dorong ke daerah. Harusnya seperti itu," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News