Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan
Jakarta. Kasus dugaan suap yang melibatkan Kepala (nonaktif) Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini, terus menjadi sorotan publik.
Kali ini, giliran Pakar Hukum dari Universitas Indonesia (UI) Profesor Hikmahanto Juwana, memberikan pendapatnya atas kasus tersebut.
Menurut Hikmahanto, kasus dugaan suap yang melibatkan Rudi adalah perkara pidana yang dilakukan oleh ‘oknum’ SKK Migas. Bukan oleh SKK migas secara kelembagaan.
“Yang melakukan tindak pidana adalah orang SKK Migas, bukan lembaganya. Rudi telah mengakui menerima gratifikasi. Nah, dalam hukum pidana korupsi itu ada delapan delik, termasuk di dalamnya penerimaan gratifikasi,” kata Hikmahanto kepada KONTAN saat dihubungi melalui telepon selulernya, Jumat (16/8).
Oleh karena itu, dia meminta sejumlah pihak tidak memunculkan wacana pembubaran SKK Migas terkait perkara pidana yang tengah membelit Rudi.
Dia memberikan analogi, jika memang langkah pembubaran SKK Migas harus ditempuh, berapa banyak lembaga negara juga harus dibubarkan karena oknum di dalamnya terlibat kasus korupsi.
“Apakah Kementerian Agama, Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan lembaga negara lainnya yang pejabatnya terlibat korupsi, juga harus dibubarkan?” tanya Hikmahanto.
Jangan bayar pengacara buat Rudi
Karena kasus dugaan suap senilai US$ 400.000 ini merupakan tindak pidana perorangan, menurut dia, secara kelembagaan SKK Migas jangan memberikan bantuan hukum kepada Rudi.
Alasannya, jika Rudi mendapatkan bantuan hukum dari SKK Migas, maka lembaga ini harus menyediakan tim pengacara untuk membela kasus pidana mantan Wakil Menteri ESDM itu.
Siapa pun mafhum, jasa kuasa hukum yang digunakan seorang tersangka koruptor untuk melakukan pembelaan atas kasus korupsi nilainya sangat besar. Bahkan, tidak sedikit pengacara tersangka korupsi dibayar miliaran hingga puluhan miliar rupiah.
“Nah, uang yang akan dikeluarkan SKK Migas untuk membayar pengacara Rudi itu adalah uang negara. Jadi, biar saja Rudi menyediakan sendiri pengacara untuk kasus hukumnya. SKK Migas jangan mengeluarkan uang untuk membayar pengacara Rudi,” tegas Hikmahanto.
Becermin dari kasus dugaan suap Rudi tersebut, Hikmahanto menyarankan, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk merevisi kembali bentuk kelembagaan SKK Migas.
Saat ini, lanjut dia, SKK Migas bukan sebagai badan negara yang independen. SKK Migas adalah bagian dari negara yang berada di bawah Kementerian ESDM.
Seperti Bulog di masa Orba
Pasalnya, SKK Migas yang didirikan pada Januari tahun ini untuk menggantikan BP Migas, dibentuk melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2013.
Berbeda halnya dengan BP Migas yang terpisah dari negara. BP Migas didirikan melalui UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi serta Peraturan Pemerintah No 42/2002 tentang BP Migas.
“Dengan kondisi tersebut, SKK Migas tidak ubahnya seperti Bulog pada masa pemerintahan Orde Baru yang mudah diintervensi oleh pemerintah,” tegas Hikmahanto.
Bukan cuma itu. Bentuk kelembagaan SKK Migas yang berada di bawah kendali Kementerian ESDM tersebut, juga sangat membahayakan keuangan negara.
Hal ini, terutama jika terjadi gugatan arbitrase yang dilayangkan perusahaan migas. Jika SKK Migas kalah dalam proses penyelesaian sengketa di arbitrase, maka aset-aset Pemerintah Indonesia akan ikut disita untuk membayar nilai gugatan.
Yang lebih penting lagi, menurut Hikmahanto, ke depan pemerintah harus lebih selektif mencari pimpinan SKK Migas. Bukan sekadar memiliki integritas, kapasitas dan jejak rekam yang bagus.
Harus diteliti dengan benar kepribadian orang yang akan menjabat sebagai Kepala SKK Migas. Karena orang yang dinilai baik saja, ternyata terlibat kasus suap,” kata Hikmahanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News