Sumber: TribunNews.com | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian memastikan menolak ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau konvensi pengendalian tembakau karena aturan yang ada sudah cukup untuk mengatur industri hasil tembakau.
Meski begitu, tetap saja ada sejumlah kalangan yang menilai pemerintah harus mendorong ratifikasi FCTC agar bisa punya peran di forum internasional.
Menanggapi hal itu, Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana menilai, argumentasi jika meratifikasi FCTC kemudian Indonesia punya peran di internasional terlalu menggampangkan. Padahal, sudah terbukti, kemampuan lobi-lobi pemerintah, wakil pemerintah di forum internasional masih lemah.
"Mereka, para wakil kita di forum internasional, belum bisa mewarnai kepentingan Indonesia. Misal Indonesia ikut masuk WTO, nyatanya kepentingan Indonesia selalu tak diakomodasi, warna Indonesia kurang terlihat. Kemampuan lobi pemerintah masih lemah," ujar Hikmahanto, Selasa (2/12).
Menurut dia, dengan kemampuan lobi yang masih lemah, akan lebih baik pemerintah tidak memaksakan ratifikasi FCTC. Ini perlu dilakukan karena Indonesia merupakan negara penghasil tembakau terbesar di dunia sehingga jangan sampai ketika ratifikasi, justru kepentingan Indonesia selalu ditekan oleh pihak luar.
"Menurut saya ditunda dulu sampai kita yakin kita bisa punya pengaruh dan punya warna di forum internasional. Kita ini negara penghasil tembakau terbesar jelas harus punya suara, jadi harus diperhatikan betul," tuturnya.
Ia menilai politik internasional berbeda dengan di DPR di mana mayoritas mungkin bisa mengendalikan suara memberi warna. Dalam lobi politik internasional, ada begitu banyak kepentingan. Jika posisi lemah, akan sangat berbahaya.
Di sisi lain, Hikmahanto juga mengingatkan, ratifikasi FCTC sudah berkaitan dengan lintas sektoral kementerian sehingga jangan lagi ada ego sektoral antar Kementerian seperti yang sudah sering kali diingatkan oleh Presiden Joko Widodo. Untuk itu perlu dilihat secara komprehensif dan tidak gegabah.
"Kita tahu ratifikasi FCTC dikehendaki oleh Kementerian Kesehatan, tapi dampaknya ke Kementerian Perindustrian, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Desa dan banyak lagi sektor ekonomi terganggu. Selama ini tembakau sudah jadi tulang punggung ekonomi melalui cukai, lapangan pekerjaan. Lalu apakah dengan ratifikasi semua masalah kesehatan selesai, bebas rokok, kan tidak juga," tegasnya.
Terakhir, kata Hikmahanto, akan lebih baik pemerintah memaksimalkan instrumen hukum yang ada ketimbang memaksakan rafifikasi FCTC. Apakah instrumen yang ada itu sudah maksimal atau belum. Jangan sampai pemerintah ngotot ratifikasi tapi kemudian kedaulatan ekonomi politik dirong-rong. Jadi, kata dia, tidak benar seakan setelah ratifikasi semua masalah akan selesai. Belum lagi kekhawatiran, jika ratifikasi impor tembakau juga akan makin melonjak.
"Jangan sampai kita bergerak ikut dalam satu konvensi, justru kedaulatan kita dirongrong, tidak benar ikut ratifikasi seakan semua menjadi benar semua. Kembali lagi, lebih baik pakai hukum kita. AS saja belum rafitikasi, kenapa tiba-tiba indonesia seakan akan mau jadi pahlawan," tegas Hikmahanto. (Sanusi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News