kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Hidup layak yang masih belum layak


Rabu, 14 November 2012 / 14:15 WIB
Hidup layak yang masih belum layak
ILUSTRASI. Wall Street. REUTERS/Brendan McDermid/File Photo


Reporter: Arif Wicaksono, Maria Elga Ratri, Dikky Setiawan | Editor: Imanuel Alexander

Pemerintah sudah menambah komponen KHL menjadi 60 komponen. Tapi, di mata buruh, jumlah itu masih kurang. Seharusnya total ada 80 komponen sehingga kesejahteraan buruh bisa meningkat. Pemerintah akan memenuhi tuntutan ini?

Idayani tampak kebingungan saat ditanya berapa biaya yang ia habiskan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) dirinya selama sebulan. Misalnya, untuk biaya perawatan rambut di salon. “Berapa, ya, biaya untuk creambath dan salon?” katanya balik bertanya kepada KONTAN.

Dia tidak sedang becanda. Perempuan 35 tahun ini memang tak tahu berapa biaya yang dia keluarkan buat perawatan rambut. Sebab, wanita lajang ini nyaris tak pernah melakukannya. “Prioritas kebutuhan utama,” ujarnya.

Dengan gaji bersih sekitar Rp 1,68 juta sebulan sebagai buruh pabrik sepatu di kawasan Pasar Baru, Tangerang, Idayani hampir tidak bisa menyisihkan penghasilan untuk memanjakan diri di salon. Boro-boro untuk perawatan rambut, buat makan sehari-hari saja susah.

Maklum, tiap bulan, Idayani harus mengirim uang Rp 500.000 untuk biaya hidup orang tuanya di kampung halaman. Ia membagi sisanya ke pos-pos pengeluaran untuk kebutuhan utama. Contoh, untuk makan, listrik dan air, serta biaya bensin dan servis kendaraan roda dua miliknya yang setia mengantarnya ke tempat ia bekerja.

Makanya, KHL Kota Tangerang untuk buruh lajang yang saat ini sebesar Rp 1,52 juta per bulan jelas tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sering ia harus mengurangi makan untuk kebutuhan tak terduga. “Apalagi perempuan kebutuhannya lebih banyak dari laki-laki,” katanya.

Nasib serupa juga Sari alami. Penghasilan sang suami, Lufti sebagai buruh pabrik perusahaan pengalengan di Cakung, Jakarta Timur yang cuma Rp 1,5 juta per bulan jelas tak cukup memenuhi kehidupan sehari-hari keluarganya.

Sari mengaku, dengan penghasilan suaminya yang minim, tiap bulan, keluarganya tidak bisa memenuhi standar KHL Provinsi DKI Jakarta untuk karyawan lajang sekalipun, yang saat ini mencapai Rp 1,49 juta per bulan.

Menurut Sari, gaji suaminya sebulan hanya cukup membiayai anak sekolah, membayar listrik, membeli gas, dan makan sehari-hari. “Boro-boro untuk menabung dan rekreasi,” kata dia. Untuk menambah pemasukan, ia menyewakan salah satu ruang kamar rumah warisan orangtuanya seharga Rp 300.000 per bulan. Miris, memang. Itu sebabnya, Dewan Pengupahan DKI mengerek KHL untuk tahun depan menjadi Rp 1,97 juta per bulan. Dengan begitu, kesejahteraan buruh di Ibukota sedikit terangkat. Sebab, angka KHL ini akan menjadi acuan bagi Gubernur DKI dalam menetapkan upah minimum provinsi (UMP) 2013 yang rencananya ditetapkan pada 20 Desember 2012 mendatang. KHL tahun depan itu naik sekitar 30% ketimbang KHL tahun ini yang Rp 1,49 juta.

Catatan saja, KHL adalah standar kebutuhan seorang buruh lajang untuk bisa hidup layak secara fisik selama satu bulan. Untuk menetapkan KHL tahun depan, ada 60 komponen yang masuk perhitungan. Contohnya beras, susu bubuk, sepatu, celana, sewa kamar, pasta gigi, sabun, transportasi, rekreasi, dan tabungan.

Sebelumnya, komponen untuk perhitungan KHL cuma 46 item. Pemerintah menambah 14 komponen lagi sehingga total menjadi 60 item. Komponen yang bertambah, antara lain ikat pinggang, sepatu, kaos kaki, rice cooker, seterika, pensil, serta deodorant.

Meski komponen KHL bertambah, jumlahnya belum sesuai harapan para buruh. Said Iqbal, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), menegaskan, komponen KHL yang baru belum mencerminkan kebutuhan hidup layak untuk buruh. “Karena, masih banyak komponen kebutuhan buruh yang tidak masuk dalam komponen KHL,” tegasnya.

Iqbal bilang, komponen yang ideal untuk memenuhi KHL yang betul-betul layak bagi buruh adalah sebanyak 84 item. Komponen yang belum masuk, contohnya, biaya pulsa telepon seluler sebesar Rp 25.000 - Rp 30.000 sebulan. Lalu, biaya pembelian kipas angin yang sudah menjadi kebutuhan hidup buruh di Jakarta. “Seberapa besar, sih, harga kipas angin? Paling sekitar Rp 75.000. Tapi biaya itu untuk dua tahun sekali, sesuai jangka waktu kerusakan kipas angin. Jadi, kalau Rp 75.000 dibagi 24 bulan, cuma sekitar Rp 5.000, itu, kan, kecil sekali,” imbuhnya.

Selain itu, Iqbal juga meminta, agar nilai item yang sudah ada porsinya diperbesar. Misal, komponen kebutuhan daging. Berdasarkan KHL yang baru, jumlah kebutuhan daging pekerja masih 0,75 kilogram (kg) per bulan. Jumlah kebutuhan itu seharusnya dinaikkan menjadi 1,2 kg - 1,5 kg sebulan. Jadi, biaya tambahannya sekitar Rp 20.000 per bulan.

Namun, jika pemerintah tetap tidak bisa mengubah item atau komponen KHL, buruh meminta, UMP 2013 ditetapkan sebesar 150% dari nilai KHL di masing-masing wilayah provinsi. Jadi, UMP 2013 yang disodorkan buruh besarnya minimal Rp 2,7 juta per bulan. “Pastinya, harus ada kompromi dengan pihak-pihak yang terkait,” ungkap Iqbal.

Di bawah 100% KHL

Tentu, bukan tanpa dasar buruh mengajukan angka UMP 2013 sebesar itu. Landasannya adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian KHL. Di Permen ini tidak ada aturan yang menyatakan bahwa upah minimum boleh lebih atau kurang dari nilai KHL.

Selama sepuluh tahun terakhir, upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan UMP di bawah 100% dari perhitungan KHL. Contoh, tahun 2011, rata-rata upah minimal secara nasional hanya 89% dari KHL. Itu pun memakai KHL yang komponennya masih 46 item. Menurut Iqbal, dengan KHL cuma sebesar itu, berarti tiap bulan buruh selalu berutang demi memenuhi kebutuhan dasarnya.

Sayang, keluhan Iqbal bak angin lalu. Dita Indah Sari, Staf Ahli Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, menegaskan, pemerintah memastikan tidak akan mengubah keputusannya terkait penetapan KHL yang baru. Itu artinya, pemerintah tidak akan merevisi Permen No. 13/2012. “Tidak bisa lagi. Kami menetapkan KHL dengan penghitungan realistis. Semua atas dasar demi kelangsungan hidup dunia usaha dan buruh,” tegasnya.

Dita menjelaskan, kemampuan sektor dunia usaha tidak sama. Itu sebabnya, dalam menetapkan KHL, pemerintah juga mempertimbangkan kemampuan sektor usaha kecil dan menengah. Selain itu, kalau komponen KHL menjadi 84 item seperti tuntutan buruh, kenaikan jumlahnya hampir 200%. Artinya, jika upah UMP di Jakarta Rp 1,52 juta, dengan 84 komponen KHL, nilai UMP 2013 di DKI bisa mencapai Rp 2,5 juta - Rp 2,8 juta sebulan.

Nah, UMP sebesar itu jelas akan membebani dunia usaha. Apalagi, sektor industri di Indonesia tidak efisien. Industri masih dibebani oleh biaya ekonomi tinggi. Sebut saja, pungutan liar, kemacetan jalan, jalan yang rusak, dan bunga bank tertinggi di Asia. Sejumlah biaya tinggi itulah yang menjadi faktor pertimbangan pemerintah untuk menetapkan 60 komponen saja sebagai penetapan KHL tahun 2013 mendatang.

Jangan sampai, Dita mengatakan, tuntutan buruh meminta 84 komponen KHL dan angka UMP sebesar 150% dari KHL menjadi bumerang bagi buruh dan pengusaha. Kalau upah tinggi tapi pengusaha tidak sanggup membayar atau menunda pembayaran upah, buruh juga yang akhirnya akan repot. Kemungkinan lain, demi memenuhi tuntutan upah tinggi, perusahaan melakukan pengurangan karyawannya Sudah adil?

Menurut Dita, sesungguhnya, dalam penghitungan KHL yang baru, pemerintah telah berlaku fair atawa adil. Ambil contoh, dalam menetapkan KHL, pemerintah tidak memakai rekomendasi Dewan Pengupahan Nasional yang hanya mengusulkan empat tambahan komponen, dari 46 menjadi 50 item. Sebab, pemerintah menilai usulan itu terlalu sedikit. “Nah, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menggunakan hak prerogatif untuk memutuskan menambah jumlah komponen KHL menjadi 60 item,” bebernya.

Hanya, Dita menambahkan, soal kebijakan UMP, pemerintah pusat tidak bisa melangkah lebih jauh mengambil kebijakan. Dalihnya, tiap daerah punya faktor penghitung UMP masing-masing. Misalnya, tiap daerah punya tingkat inflasi dan situasi pasar kerja berbeda. “Nilai UMP tergantung daerah masing-masing. Mungkin, nanti ada daerah yang UMP-nya melampaui KHL atau sebaliknya,” katanya.

Tapi, Muhaimin Iskandar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, menegaskan, pemerintah terus melakukan komunikasi dengan pengusaha agar bisa memenuhi tuntutan buruh. “Untuk UMP tahun depan, setiap daerah harus bisa sebesar 150% KHL atau minimal 100% KHL,” tegasnya.

Muhaimin bilang, penetapan UMP sebesar 150% dari KHL akan bisa meredam permasalahan yang terjadi dalam hubungan industrial antara pengusaha dengan buruh. Sebab, maraknya demo buruh terjadi akibat pengabaian tuntutan atau harapan dari buruh, khususnya terkait upah minimum.

Hingga saat ini, jumlah pemerintah provinsi yang sudah menetapkan UMP baru tujuh provinsi. Mereka adalah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Bengkulu, Kalimantan Selatan, dan Papua. Pemerintah memberi tenggat waktu bagi pemerintah provinsi untuk menetapkan UMP 2013 maksimal pada tanggal 20 Desember 2012 mendatang.

Rata-rata kenaikan UMP 2013 ketujuh provinsi itu dibanding 2012 sebesar 14,34%. Kenaikan UMP tertinggi berada di Provinsi Bengkulu sebesar 29,03% menjadi Rp 1,2 juta. Sedangkan kenaikan terendah di Provinsi Papua sebesar 7,89%.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menyatakan, permintaan UMP dari para buruh terlampau tinggi. Menurutnya, hal ini bisa mematikan pelaku industri di Indonesia. “Jika sudah ditetapkan dan pengusaha tidak bisa membayar konsekuensinya bisa terkena hukum pidana,” ungkapnya.

Menurut Sofjan, besaran kenaikan UMP yang ideal adalah sebesar 8% - 10% dari tahun 2012. Sikap ini juga untuk melindungi 70% dari 130 juta pekerja di Indonesia yang berada di sektor industri menengah dan kecil.

Siti Hayati, pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, berpendapat, pengusaha dan buruh harus satu suara menilai penetapan KHL 2013. Pengusaha, kata Siti, harus bisa memenuhi kebutuhan dasar utama buruhnya.

Tapi, buruh juga harus melihat kemampuan pengusaha. “Kalau tuntutan upah buruh terlalu tinggi, tapi akhirnya perusahaan tidak bisa jalan, akhirnya bisa berdampak terhadap pekerja,” imbuh Siti.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 07 - XVII, 2012 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Berita Terkait


TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×