Reporter: Herlina KD | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang cukup baik membuat investor tertarik untuk menggelontorkan dananya ke dalam negeri. Meski begitu, pemerintah mengingatkan fenomena peningkatan utang luar negeri swasta yang perlu diwaspadai. Sebab, peningkatan utang luar negeri swasta ini bisa memicu krisis seperti yang terjadi pada tahun 1997 dan 2008.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, peringkat investment grade dan kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang menjanjikan memungkinkan korporasi mendapatkan pinjaman luar negeri dengan bunga murah. Tapi, pemerintah melihat fenomena peningkatan utang luar negeri dari sektor korporasi yang perlu diwaspadai.
"Kami khawatir, jika tidak dikelola dengan hati-hati, krediturnya bisa berubah. Saat ada shock, kepercayaan mereka memudar dan menarik kembali pinjamannya, perusahaan bisa kolaps," jelasnya Rabu (12/12).
Ia menjelaskan, saat ini rasio utang yang harus dibayar oleh korporasi dibanding rasio pendapatan dari ekspor (debt service coverage) sudah mencapai 30%. Kondisi ini, kata Agus sudah melebihi kondisi wajar.
Menurut Agus, ada beberapa ciri utang yang tidak diperhitungkan dengan hati-hati. Pertama, adanya risiko nilai tukar alias missmatch, yaitu perusahaan meminjam dalam bentuk valuta asing dan menggunakan untuk proyek yang menghasilkan rupiah murni. Sehingga, ada kerugian valas yang cukup besar.
Kedua, pinjaman jangka pendek yang diinvestasikan pada proyek jangka panjang. Kondisi ini sangat berisiko, karena jika sewaktu-waktu ada guncangan, kreditur bisa menarik kembali dananya, sementara perusahaan sebagai debitur tak bisa mengembalikan. Ketiga, perusahaan yang mendapat pinjaman dalam bunga berfluktuasi, dan kemudian di dalam negeri ia pinjamkan ke pihak lain dengan bunga tetap. Sehingga ada risiko kenaikan bunga yang bisa menimbulkan kerugian perusahaan yang bersangkutan.
Itu sebabnya, Kementerian Keuangan sudah membicarakan fenomena ekses utang luar negeri swasta ini dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). "Kami akan respon dengan kebijakan (policy)," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News